BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang
ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan ,
mengurangi baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Dorland,
2002). Apabila jaringan yang cidera misalnya karena terbakar, teriris atau
karena infeksi kuman maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar
lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyababkan jaringan yang cidera
diperbaiki atau diganti dengan jaringan-jaringan baru. Rangkaian reaksi ini
disebut inflamasi. (Rukmono, 1973).
Gejala inflamasi dapat berupa edema (pembengkakan),
eritema (kemerahan), panas, nyeri, dan hilangnya fungsi jaringan. Penyakit ini
sampai sekarang mekanisme inflamasi tingkat bioselular masih belum dapat
dijelaskan secara rinci, walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan
disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit kejaringan radang. (Wilmana, 1995)
Dalam pengobatan infamasi, kelompok obat yang banyak
diberikan adalah obat antiinflamasi non steroid (AINS). Obat ini merupakan obat
sintetik dengan struktur kimia heterogen. Prototype
obat golongan ini adalah aspirin, karena itu sering disebut juga obat mirip
aspirin ( Wilmana dan Gan, 2007 ). Efek terapi AINS berhubungan dengan
mekanisme kerja penghambatan pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1) yang dapat
menyebabkan efek samping pada saluran cerna dan penghambatan pada enzim
siklooksigenase-2 (COX-2) yang dapat menyebabkan efek samping pada system
kardiovaskular. Kedua enzim tersebut dibutuhkan dalam biosintesis
prostalglandin (Lelodan Hidayat, 2004).
Tanaman kencur khususnya bagian rimpang dapat
digunakan sebagai antiinflamasi. Rimpang kencur mengandung flavonoid, saponin
dan minyak atsiri yang dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Antiinflamasi
pada kencur merupakan yipe anti inflamasi non steroi. Flavonoid dapat menghambat
jalur metabolism asam arakidonat, pembentukan prostalglandin dan pelepasan
histamine pada radang.(Logio dkk, 1986). Saponin bersifat seperti detergen
diduga mampu berinteraksi dengan banyak membrane lipid seperti fosfolipid yang
merupakan perkusor prostalglandin mediator-mediator inflamasi lainnya.(Sri
Rastava, 1993). Minyak atsiri dapat menghambat agregasi platelet dengan cara
menghambat pembentukan tromboksan sehingga juga berperan dalam efek
antiinflamasi.(Sri Rastava, 1993)
Di Indonesia sendiri rimpang kencur mudah ditemui
dan sering digunakan sebagai jamu dalam sehari-hari. Penelitian ini bertujuan
untuk mengembangkan potensi tanaman kencur sebagai obat antiinflamasi dengan
melakukan uji antiinflamasi dan formulasi sediaan suspensi rimpang kencur.
1.2
Rumusan
Masalah
Pada
penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yaitu :
a. Bagaimanakah
pembuatan simplisia rimpang kencur dan cara ekstraksinya?
b. Bagaimanakah
cara melakukan ekstraksi maserasi rimpang kencur ?
c. Bagaimana
cara melakukan uji antiinflamasi ekstrak rimpang kencur pada mencit ?
d. Bagaimana
cara membuat formulasi sediaan suspense ekstrak rimpang kecur ?
e. Bagaimana
uji evaluasi sediaan suspense ekstrak rimpang kencur ?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana cara melakukan uji efektivitas anti inflamasi
rimpang kencur.
b. Mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana cara membuat formulasi sediaan suspense dari ekstrak
rimpang kencur.
c. Mahasiswa
dapat melakukan evaluasi sediaan suspensi dari ekstrak rimpang kencur.
1.4
Manfaat
Manfaat
dari penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan akan kegunaan rimpang
kencur sebagai anti inflamasi serta cara pengolahan sediaan suspensi. Selain
itu dapat memberikan informasi akan penyakit inflamasi serta mekanisme
penyembuhan obat antiinflamasi.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan
Tanaman Kencur
Kencur
(Kaemferia galangal L) merupakan salah
satu dari lima jenis tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli
Indonesia. Kencur merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi
sehingga banyak dibudidayakan. Bagian rimpangnya digunakan sebagai bahan baku
industry obat tradisional, bumbu dapur, bahan makanan, maupun minuman penyegar
lainnya (Rostiana dkk., 2003). Adapun klasifikasi tanaman kencur sebagai
berikut :
Nama
daerah : Kencur
(jawa).
Kingdom : Plantae.
Divisi : Spermatophyta.
Subdivisi : Angiospermae.
Kelas : Liliopsida.
Ordo : Zingiberales.
Family : Zingiberaceae.
Species : Kaemferia galangal L.
2.1.2 Ciri morfologi tanaman
Habitat
semak semusim tinggi 30-70 cm, akar bergerombol, bercabang-cabang, serabut
putih, coklat gelap berkesan mengkilap. Batang lunak berpelepah membentuk
rimpang, hitam keabu-abuan. Daging buah mempunyai daging buah paling lunak,
tidak berserat, berwarna putih, kulit luar berwarna coklat.
2.1.3 Kandungan kimia
Saponin, flavonoid, minyak atsiri,
kandungan utama kencur antara lain etil sinamat, p-metoksitilen, Karen, borneol
dan paraffin (Afriastini, 1990). Kandungan minyak atsiri dari rimpang kencur
diantaranya terdiri atas miscellaneous
compounds (misalnya etil p-metoksinamat 58,47%, isobutyl β-2-furilakrilat
30,90% dan heksil format 4,78%) derivate monoterpen teroksigenasi (misalnya
borneol 0,03% dan kamfer hidrat 0,83%), serta monoterpen hidrokarbon (misalnya
kamfer 0,04% dan terpinolen 0,02%) (Sukari dkk., 2008).
2.1.4 Mekanisme antiinflamasi rimpang kencur
a. Flavonoid : penghambatan
pada jalur metabolism asam arakidonat pembentukan prostalglandin, pelepasan
histamine pada radang (Logia dkk., 1986).
b. Saponin : bersifat
seperti detergen, diduga mampu berinteraksi dengan banyak membrane lipid
seperti fosfolipid yang merupakan perkusor prostalglandin mediator-mediator
inflamasi lainnya.
c. Minyak atsiri : dapat
menghambat agregasi platelet dengan cara menghambat pembentukan tromboksan
sehingga juga berperan dalam efek antiinflamasi (Srirastava, 1993).
2.2.1 Inflamasi
Inflamasi
merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cidera atau kerusakan
jaringan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi baik agen pencedera maupun
jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002). Apabila jaringan yang cidera misalnya
karena terbakar atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi
rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang
mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cidera diperbaiki atau diganti dengan jaringan-jaringan baru.
Ragkaian reaksi ini disebut inflamasi (Rukmono, 1973).
2.2.2 Tahapan Inflamasi
a. Inflamasi akut adalah inflamasi
yang terjadi segera setelah adanya rangsang iritan. Pada tahapan ini terjadi
pelepasan plasma dan komponen seluler darah kedalam ruang-ruang jaringan ekstra
seluler. Termasuk didalamnya granulosit neutrofil yang melakukan pelahapan
(fagositosis) untuk membersihkan debris jaringan dan mikroba (Soesatyo, 2002).
Inflamasi akut dapat terjadi cepat (menit-hari) dengan cirri khas utama
eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa rubor
(kemerahan), color (panas), tumor (pembengkakan), dolor (sakit), function laesa
(kegagalan fungsi).
b. Inflamasi kronis adalah inflamasi
yang berdurasi panjang (berminggi-minggu atau bertahun-tahun) dan terjadi
proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan dan penyembuhan.
Perbedaan dari radang akut ditandai dengan adanya perubahan vaskuler, edema dan
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit dan sel plasma)
dekstruksi jaringan dan perbaikan (meliputi poliferasi pembuluh darah baru)
angiogenesis dan fibriosis (Mitchell & Coltran, 2003).
2.2.3 Gejala Inflamasi
Eritema
(kemerahan) terjadi pada tahap pertama inflamasi. Darah berkumpul pada daerah
cidera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (Kinin, prostalglandin
dan histamine).
Edema (Pembengkakan) merupakan tahap
kedua dari inflamasi, plasma menembus kedalam jaringan intestinal pada tempat
cidera. Kinin mendilatasi asteriol, meningkatkan permeabilitas kapiler.
Kolor (Panas) dapat disebabkan oleh
bertambahnya pengumpulan darah, atau mungkin disebabkan pathogen/pirogen yaitu
substansi yang menyebabkan panas atau demam yang mengganggu pusat pengatur
panas pada hipotalamus.
Dolor (Nyeri) disebabkan oleh
penumpukan cairan pada tempat cidera jaringan dank arena rasa nyeri. Keduanya
mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee dan Hayes, 1996).
Functio Laesa (hilangnya Fungsi)
disebabkan oleh penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dank arena rasa
nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee dan Hayes,
1996)
2.2.4 Patofisiologi Inflamasi
Terjadinya inflamasi adalah reaksi
setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsangan untuk dilepaskannya
zat kimia tertentu yang akan menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada
reaksi radang tersebut, diantaranya histamine, serotonin, breadikinin,
leukotrin dan prostalglandin. Histamine bertanggungjawab pada perubahan yang
paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan
vasodilatasi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan
perbedaan distribusi sel darah merah dank arena aliran darah yang lambat sel
darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdobak kepinggir.
Makin lambar aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding
pembuluh darah, makin lama akan meningkat. Perubahan permeabilitas ini
menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul di jaringan.
Bradikuinon bereaksi local menimbulkan rasa sakit. Vasodilatasi meningkatkan
permeabilitas kapiler , sebagai penyebab radang , prostalglandin berpotensi
kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbonjara,L.B,. 2009).
2.3 Anti
Inflamasi
Antiinflamasi adalah obat yang dapat
menghilangkan radang yang disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi).
Gejala inflamasi dapat disertai dengan gejala panas, kemerahan, pembengkakan,
rasa nyeri dan gangguan fungsi. Obat-obat yang digunakan sebagai antiinflamasi
adalah golongan obat yang memiliki aktifitas menekan atau mengurangi
peradangna. Obat ini terbagi atas dua golongan, yaitu golongan antiinflamasi
steroid dan anti inflamasi non steroid (AINS). Kedua golongan obat ini selain
berguna untuk mengobati juga memiliki efek samping yang dapat menimbulkan
reaksi toksisitas kronis bagi tubuh (Katzung, 1992).
2.3.1 Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
Obat antiinflamasi non steroid
merupakan kelompok obat yang paling banyak dikonsumsi diseluruh dunia untuk
mendapatkan efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. OAINS merupakan
pengobatan dasar untuk mengobati atau mengatasi peradangan di dalam dan seluler
sendi, seperti lumbang astralgia, osteoartitis, artitis rematoid dan gout
artitis. Disamping itu OAINS juga banyak penyakit-penyakit non rematik seperti
saluran kemih, infark miokardium dan dismenorhoea. OAINS merupakan suatu
kelompok obat yang heterogen, obat-obat mempunyai banyak persamaan dalam efek
terapi dan efek samping.
NSAID
dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu :
1. Golongan
salisilat à Aspirin,
asam asetilsalisilat, metal salisilat, Mg salisilat, Salisil Salisilat dan
salisilamid.
2. Golongan
asam aril alkanoat à Diklofenac, endometasin, proglumetasin
dan oksametasin.
3. Golongan
profen à ibuprofen,
alminoprofen, indoprofen, naprofen dan ketorolac.
4. Golongan
Asam fenamat à asam mefenamat, asam flufenam dan asam
tolfenamat.
5. Golongan
turunan pirazolidin à fenilbutason,
ampiron, metamizol dan fenazon.
6. Golongan
oxicam à proxicam dan meloksicam.
7. Golongan
penghambat Cox-2 à celeoxib dan luminacoxib.
8. Golongan
sulfonalimida à nimesulide.
9. Golongan
lain à Licofelone dan asam lemak omega 3.
2.3.2 Antiinflamasi Steroid
Obat ini merupakan antiinflamasi
yang sangat kuat karena obat-obat ini menghambat enzyme phospolipase A2.
Sehingga tidak terbentuk asam arakidonat. Asam arakidonat tidak terbentuk
berarti prostalglandin juga tidak akan terbentuk.
Senyawa steroid adalah senyawa
golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu yang memiliki susunan
sikloheksana dan satu asam siklopentana. Suatu molekul steroid yang dihasilkan
secara alami oleh korteks adrenal dengan nama senyawa kortikosteroid. Contoh
obat antara lain deksametason, prednisone, metal prednisolon, triamsinolon dan
betametason (Ikawati.,2006).
2.4 Suspensi
Suspensi adalah sediaan cair yang
mengandung partikel tidak larut yang terdispersi dalam fase cair (FI edisi IV,
1995). Suspense oral sediaan cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam
pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai dan ditujukan untuk penggunaan
oral.
Keuntungan sediaan suspensi baik
digunakan untuk pasien sukar menelan tablet / kapsul terutama anak-anak dan
lansia. Homogenitas tinggi, lebih mudah diabsorbsi dari pada tablet/kapsul,
mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air dan dapat menutupi
rasa tidak enak pada obat.
Kerugian kestabilan rendah, jika
membentuk cracking sulit terdispersi kembali, aliran menyebabkan sukar dituang,
ketepatan dosis menurun dari pada sediaan larutan dan pada saat penyimpanan
kemungkinan terjadi system disperse.
2.4.2 Evaluasi Sediaan Suspensi
Uji evaluasi perlu dilakukan untuk
mengetahui kualitas sediaan, uji tersebut meliputi :
1. Uji
Organoleptis : a.
Bau.
b. Warna
c. Rasa
2. Uji
Masa Jenis
a. Piknometer
kosong yang bersih dan kering ditimbang.
b. Masukkan
aquadest ad tanda batas lalu ditimbang.
c. Piknometer
dibersihkan dan dikeringkan.
d. Sediaan
suspensi dimasukkan kedalam piknometer dan ditimbang.
e. Massa
jenis suspensi ditentukan dengan rumus
.
3. Uji
Viskositas
Menggunakan
viscometer stomer, stampel dimasukkan kedalam wadah. Sampel dinaikkan sampat
tanda batas pada dayung terendam tepat letaknya ditengah sampel. Rem dilepaskan
sampai pemberat dibawah.
4. Volume
Sedimentasi
Suspense
dimasukkan kedalam gelas ukur 10 mL dan disimpan (V0) pada suhu
kamar serta terlindung dari cahaya secara langsung perubahan volume diukur dan
dicatat. Rumus : F = Vu/Vo
5. Pengukuran
pH
Sediaan
dituang kedalam wadah khusus secukupnya, dimasukkan pH meter kedalam sediaan
dan tunggu hingga nilai pada pH meter konstan.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Rancangan
Formulasi
Dosis sediaan : 45 mg/KgBB
(Tikus).
Konversi Tikus à
Mencit
= 1.26mg/20 gram.
Konversi Mencit à
Manusia
= 488.754 mg/70KgBB
Formulasi
Sediaan Suspensi Ekstrak Rimpang Kencur :
R/ Ekst. Rimpang Kencur 488.754mg
CMC Na 0.5%
Na Benzoat 0.02%
Syr Simplex 25%
Aquadest ad 60mL.
S 3 dd 1.
Penimbangan
Bahan :
a. Ekstrak
Rimpang Kencur = 488.754 mg.
b. CMC
Na =
=
0,3 gram.
c. Syr
Simplex =
=
15mL
d. Na
Benzoat =
=
0,012 gram.
e. Aquadest = 60mL-
(0,3+0,012+15+6) = 38,68 mL.
f. Air
untuk CMC Na = 20 x 0,3 gram = 6 mL.
3.2 Pembuatan
Simplisia
A.
Pengumpulan Bahan
Rimpang kencur didapat dari pasar Bandar
Kediri Jawa timur sebanyak 2 kg, rimpang kencur yang dibeli dipilah rimpang
yang masih bagus.
B.
Pengolahan Bahan
Rimpang kencur dibersihkan dari residu
dari luar dengan air keran, kemudian dirajang sampai tipis kurang lebih 0,5 cm.
Hasil rajangan diangin-anginkan selama 3 hari, bahan kering dihaluskan dengan
blender sehingga didapat serbuk halus rimpang kencur. Hasil akhir serbuk diayak
dengan menggunakan pengayak no mesh 40 selama 3 X pengayakan.
3.3 Pembuatan
Ekstrak Rimpang Kencur
Ekstrak Rimpang kencur dibuat dengan
menggunakan metode maserasi. Simplisia ditimbang 64,48 gram, serbuk tadi
dimasukkan kedalam botol 500 ml. Serbuk rimpang kencur dilarutkan dengan etanol
96% sebanyak 7X bobot serbuk rimpang kencur yaitu 451,36 mL. Larutan dikocok
selama 30 menit sebanyak 3X dalam sehari. Pengocokan dilakukan selama 2 hari.
3.4 Pembuatan
Suspensi Ekstrak Rimpang Kencur
Siapkan Alat dan
Bahan
|
CMC Na 0,6 gram
dimasukkan kedalam mortir
|
Ditambahkan Aqua
panas 6 mL
Dan digerus
sampai mucilago
|
Dimasukkan
ekstrak rimpang kencur dan Na Benzoat kedalam CMC Na gerus ad homogen
|
Dimasukkan Syrup
Simplex kedalam mortir gerus ad homogen
|
Dimasukkan
aquadest ad 60 mL
Dimasukkan botol
dan dikemas
|
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Uji Berat Jenis
Berat piknometer kosong (Wı) = 27,27 g
Berat piknometer + solven (Wı´) = 76,78 g
Bobot solven (Wı´-W₁=W₂) = 49,51 g
Ekstrak + solven (W₄) =
77,09 g
W₃ =
1,5 g
= 2,49 g/cc
Uji
pH = 6
Uji
Viskositas =
285 mpAs
Uji Evektifitas
Antiinflamasi Rimpang Kencur =
Hewan
Coba
|
Diameter
kaki mencit (Cm)
|
||||
Sebelum
diinduksi putih telur
|
30menit
setelah diinduksi putih telur
|
Setelah
Pemberian Ekstrak Rimpang Kencur
|
|||
30
menit
|
60
menit
|
90
menit
|
|||
Mencit
A
|
1,15
|
1,7
|
1,6
|
1,5
|
1,3
|
Mencit
B
|
1,1
|
1,7
|
-
|
-
|
-
|
Mencit
C
|
0,9
|
1,4
|
1,35
|
1
|
0,92
|
Uji Organoleptis =
Warna = Putih Kekuningan
Bau = Khas Kencur
Rasa = Manis
4.1 Pembahasan
Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kencur yang diolah menjadi
sediaan suspense sebagai antiinflamasi. Rimpang kencur diekstraksi dengan
menggunakan metode maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Sebanyak
64,48 gram serbuk rimpang kencur dilarutkan dengan etanol 96% sebanyak 451,36 mL.
Dalam pengujian rimpang kencur sebagai antiinflamasi
dilakukan uji evektifitas rimpang kencur sebagai antiinflamasi dengan
menggunakan hewan coba mencit dan sebagai inflamatornya adalah putih telur.
Pada uji ini digunakan 3 ekor mencit, ke 3 mencit diukur diameter kakinya
sebelum diinduksi dengan putih telur dari pengukuran diperoleh diameter Mencit
A 1,15 cm, Mencit B 1,1 cm dan Mencit C 0,9 cm. Kemudian diinsuksi dengan putih
telur dan ditunggu selama 30 menit, diameter kaki mencit mengalami tumor (pembengkakan)
dengan perubahan diameter kaki Mencit A 1,7 cm , Mencit B 1,7 cm dan Mencit C
1,4 cm. Setelah diinduksi dengan putih telur diinduksi dengan ekstrak rimpang
kencur tiap 30 menit sebanyak 3 kali replikasi. Diameter kaki mencit A dan C
saja yang mengalami pengecilan ukuran pembengkakan, sedangkan mencit B tidak
mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak kencur pada
mencit B yang tidak sepenuhnya masuk kedalam tubuh sehingga kadar ekstrak tidak
sesuai dosis yang diinginkan. Akan tetapi dengan adanya 2 mencit yang mengalami
pengecilan pembengkakan maka dapat dinyatakan bahwa ekstrak kencur dapat
digunakan sebagai obat antiinflamasi.
Formulasi pada penelitian ini digunakan sediaan suspensi,
digunakannya suspensi dalam sediaan kami karena sediaan ditujukan untuk
penggunaan oral yang mudah dikonsumsi oleh anak-anak dan lansia yang sulit
menelan pil atau tablet serta dengan sediaan suspensi dikatakan lebih cocok
dengan kandungan yang ditujukan sebagai antiinflamasi. Rancangan dari sediaan
ini tidak menghilangkan cirri khas dari sediaan kencur yaitu aroma yang khas
dari kencur serta warna dari kencur sendiri yaitu putih kekuningan. Rasa dari
sediaan yang diinginkan adalah manis. Dari hasil pembuatan formulasi sediaan
kami memenuhi rancangan spesifikasi yang diinginkan. Hanya saja rasa dari
kencur terlalu manis disebabkan syrup simplex yang sedikit berlebih.
Hasil uji evaluasi sediaan suspense memenuhi standart
yang telah ditetapkan yaitu untuk uji pH 6 sedangkan syarat yang ditetapkan adalah
4-6. Uji viskositas didapat 285 mpAs. Pada uji evaluasi ini seharusnya
dilakukan uji volume sedimentasi untuk mengetahui kecepatan partikel mengendap,
hal ini sangat penting karena kelemahan dari sediaan suspense adalah cracking
yaitu membentuk endapan yang sukar terdispersi kembali. Tetapi bila dilakukan
uji sedimentasi hal itu bisa dikurangi dengan cara membandingkan suspending
agent yang baik untuk formulasi kami.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum ini ekstrak rimpang kencur dapat
digunakan sebagai antiinflamasi terbukti kemampuannya mengecilkan pembengkakan
pada kaki mencit yang diinduksi dengan putih telur. Sediaan suspensi merupakan
sediaan yang berupa larutan dari zat yang tidak larut dalam air yang
terdispersi kedalam larutan.
5.2 Saran
Dalam melakukan penyondean / induksi mencit dibutuhkan
ketelitian agar sediaan yang diinduksikan masuk semua sesuai dosis yang
diharapkan(tidak tumpah). Serta pada uji evaluasi sediaan suspensi harus
dilakukan uji sedimentasi agar dapat mengetahui suspending agent yang cocok
yang tidak mudah cracking.
DAFTAR
PUSTAKA
Afriastini, J.J., 2002.
Bertanam Kencur. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya. hal. 1-33.
Rostiana,
O., Rosita SMD, W. Haryudin, Supriadi dan S. Aisyah, 2003. Status pemuliaan
tanaman kencur. Status Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan
Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol XV. No 2. hal. 25-37.
Buku
Panduan Program Magister Herbal Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia;
2010.
Depkes
RI. Farmakope Indonesia Edisi III.
Depkes
RI. Farmakope IV.
Anonim
1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Dalimartha,
S., 2003, Atlas Tumbuhan Obat Jilid 3, Trubus Agriwidya, Jakarta
Comments