BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Landasan Teori
1.
Kamboja Putih (Plumeria alba)
a. Klasifikasi
Nama
tanaman yang digunakan adalah kamboja putih (Plumeria alba).
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Ordo
: Gentianales
Famili
: Apocynaceae
Genus
: Plumeria
Spesies
: Plumeria alba (Adrian
dan Endang Sulistyorini, 2009)
Daerah
asal tumbuhan ini dari Amerika tropis dan Afrika, termasuk tanaman hias,
varietas tumbuhan kamboja terdiri dari beberapa jenis antara lain: kamboja
putih dan kamboja merah/kamboja jepang. Batangnya berkayu keras, mencapai 6
meter, percabangannya banyak, batang utama besar, cabang muda lunak, batangnya
cenderung bengkok dan bergetah. Daunnya hijau, berbentuk lonjong dengan kedua
ujungnya meruncing dan agak keras dengan urat-urat daun yang menonjol, sering
rontok terutama saat berbunga lebat. bunganya berbentuk terompet, muncul pada
ujung-ujung tangkai, daun bunga berjumlah 5 buah, berbunga sepanjang tahun
(Yuniarti, 2009).
b.
Kandungan Kimia Bunga Kamboja Putih
Tanaman
kamboja (Plumeria acuminate, W.T.Ait) mengandung senyawa agoniadin, plumierid,
asam plumerat, lipeol, dan asam serotinat, plumierid merupakan suatu zat pahit
beracun. Kandungan kimia getah tanaman ini adalah damar dan asam plumeria
C10H10O5 (oxymethyl dioxykaneelzuur)
sedangkan kulitnya mengandung zat pahit beracun. Akar dan daun Plumeria
acuminate, W.T.Ait mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol, selain
itu daunnya juga mengandung alkaloid. Tumbuhan ini mengandung fulvoplumierin,
yang memperlihatkan daya mencegah pertumbuhan bakteri, selain itu juga
mengandung minyak atsiri antara lain geraniol, farsenol, sitronelol,
fenetilalkohol dan linalool. Kulit batang kamboja mengandung flavonoid, alkaloid,
polifenol. (Adrian dan Endang Sulistyorini, 2009). Senyawa
plumierida yang terkandung dalam tanaman kamboja (Plumeria acuminata)
memiliki struktur mirip dengan glikosida iridoid lain (pulosariosida)yang telah
diketahui memiliki aktivitas anti mikroba (Kitagawa et.al., 1996).
Efek farmakologi yang dimiliki oleh
kamboja diantaranya penurun panas (antipiretik),
peluruh kencing (antidiuretik), dan
obat batuk (antitusif). Kulit kayunya
digunakan sebagai laxant (pelancar buang air besar). Getah, daun, kulit batang,
akar, serta seluruh bagian tumbuhan untuk mencegah pingsan akibat udara panas (heat
stroke), disentri basiler, gangguan pencernaan, (dispepsia), gangguan penyerapan makanan pada anak, kurang gizi (malnutrisi), radang hati (hepatitis infeksiosa), radang saluran
napas (bronchitis), jantung berdebar
keras (palpitasi), TBC (tuberkulosa), cacingan, sembelit (konstipasi), kencing nanah (gonorrhoea), beri-beri, busung air,
kapalan (klavus), telapak kaki bengkak dan pecah-pecah, sakit gigi berlubang,
tertusuk duri atau terkena pecahan kaca, bisul (furunculus), patek (frambusia), serta benjolan keras (tumor) (Hariana, 2008).
2. Antibiotik
Antibiotikaadalahzat yang
dihasilkanolehsuatumikroba, terutama fungi/jamur, yang
dapatmenghambatataudapatmembasmimikrobajenislain.Banyakantibiotikasaatinidibuatsecarasemisintetikatausintetikpenuh.
Namundalamprakteknyaantibiotikasintetiktidakditurunkandariprodukmikroba (misalnyakuinolon).Antibiotika
yang akandigunakanuntukmembasmimikroba, penyebabinfeksipadamanusia,
harusmememilikisifattoksisitasselektifsetinggimungkin. Artinya,
antibiotikatersebutharuslahbersifatsangattoksikuntukmikroba,
tetapirelatiftidaktoksikuntukmanusia.
Antibiotikaadalahobat yang
sangatampuhdansangatbermanfaatjikadigunakansecarabenar, namun,
jikadigunakantidaksemestinyaantibiotikajustruakanmendatangkanberbagaimudharat.
Yang harusselaludiingat, antibiotikahanyaampuhdanefektifmembunuhbakteritetapitidakdapatmembunuh
virus. Penyakit yang
dapatdiobatidenganantibiotikaadalahpenyakit-penyakitinfeksi yang
disebabkanolehbakteri. Penyebabtimbulnyaresistensiantibiotika
yang terutamaadalahkarenapenggunaanantibiotika yang tidaktepat,
tidaktepatsasaran, dantidaktepatdosis. Tidaktepatsasaran,
salahsatunyaadalahpemberianantibiotikapadapasien yang bukanmenderitapenyakitinfeksibakteri.
Menderita infeksi bakteri, antibiotika yang diberikan pun harus dipilih
secara seksama,tidak semua antibiotika ampuh terhadap bakteri tertentu. Antibiotika
mempunyai daya bunuh terhadap bakteri yang berbeda-beda, karena itu,
antibiotika harus dipilih dengan seksama. Ketepatan dosis sangat penting
diperhatikan. Tidak tepat dosis dapat menyebabkan bakteri tidak terbunuh,
bahkan justru dapat merangsangnya untuk membentuk turunan yang lebih kuat daya
tahannya sehingga resisten terhadap antibiotika, karena itu, jika dokter
memberikan obat antibiotika, patuhilah petunjuk pemakaiannya dan harus diminum
sampai habis. Pemakaian antibiotika tidak boleh sembarangan, baik untuk anak-anak
maupun orang dewasa,peyebabnya, antibiotika tidak boleh dijual bebas melainkan
harus dengan resep dokter. Terlalu sering mengonsumsi antibiotika juga
berdampak buruk pada ''bakteri-bakteri baik'' yang menghuni saluran pencernaan
kita. Bakteri-bakteri tersebut dapat terbunuh, padahal mereka bekerja membuat
zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan kita. Pemakaian antibiotika atau
kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang
menjadi kurang efektif,olehkarenaituperluadanyapemantauanantibiotika/kemoterapeutika yang luaspemakaiannyadalammasyarakat.
a.
Mekanisme Kerja Antibiotik
Antibiotik
menghambat mikroba melalui mekanisme yang berbeda yaitu (1) mengganggu
metabolisme sel mikroba; (2) menghambat sintesis dinding sel mikroba; (3)
mengganggu permeabilitas membran sel mikroba; (4) menghambat sintesis protein
sel mikroba; dan (5) menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Antibiotik
yang menghambat metabolisme sel mikroba ialah sulfonamid, trimetoprim, asam
p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Mekanisme kerja ini diperoleh efek
bakteriostatik.Antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat
sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas
dan sering menyebabkan sel lisis meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin,
vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis
dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Obat yang
termasuk dalam kelompok yang mengganggu permeabilitas membran sel mikroba ialah
polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik umpamanya
antiseptic surface active agents. Polimiksin sebagai senyawa
ammonium-kauterner dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat
pada fosfolipid membran sel mikroba.
Antibiotik
yang menghambat sintesis protein sel mikroba ialah golongan aminoglikosid,
makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Sel mikroba perlu
mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Penghambatan sintesis protein
terjadi dengan berbagai cara. Streptomisin berikatan dengan komponen 30S dan
menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein.
Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel
mikroba. Antibiotik aminoglikosid dan lainnya yaitu gentamisin, kanamisin dan
neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama namun potensinya berbeda.
Antibiotik
yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba termasuk rifampisin dan
kuinolon. Rifampisin adalah salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan
enzim polymerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim
tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang
fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral sehingga
bisa muat dalam sel kuman yang kecil (Gunawan, 2009).
b.
Golongan antibiotik
Terdapat
hampir 100 antibiotik namun mayoritasnya terdiri dari beberapa golonga Stephens
(2011). Golongan-golongan tersebut adalah :
1. Golongan penisilin.
Penisilin merupakan antara antibiotik
yang paling efektif dan paling kurang toksik. Penisilin mengganggu reaksi
transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri. Golongan penisilin dapat terbagi
menjadi beberapa kelompok yaitu :
a. Penisilin natural yaitu yang didapat
dari jamur Penicillium chrysogenum. Yang termasuk di sini adalah penisilin G
dan penisilin V.
b. Penisilin antistafilokokus, termasuk di
sini adalah metisilin, oksasilin dan nafsilin. Penggunaan hanya untuk terapi
infeksi disebabkan penicillinaseproducing staphylococci.
c. Penisilin dengan spektrum luas yaitu
ampisilin dan amoksisilin. Ampisilin dan amoksisilin mempunyai spektrum yang
hampir sama dengan penisilin G tetapi lebih efektif terhadap basil gram
negatif.
d. Penisilin antipseudomonas yaitu termasuk
karbenisilin, tikarsilin dan piperasilin. Ia dipanggil begitu karena aktivitas
terhadap Pseudomonas aeruginosa (Harvey, Champe, 2009).
2. Golongan sefalosporin.
Golongan
ini hampir sama dengan penisilin oleh karena mempunyai cincin beta laktam.
Secara umum aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum
anti kuman dari masing-masing antibiotik sangat beragam, terbagi menjadi 3
kelompok, yakni:
a. Generasi pertama bertindak sebagai
subtitut penisilin G. Termasuk di sini misalnya sefalotin, sefaleksin,
sefazolin, sefradin. Generasi pertama kurang aktif terhadap kuman gram negatif.
b. Generasi kedua agak kurang aktif
terhadap kuman gram positif tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif,
termasuk di sini misalnya sefamandol dan sefaklor.
c. Generasi ketiga lebih aktif lagi
terhadap kuman gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae dan
kadang-kadang peudomonas. Termasuk di sini adalah sefoksitin (termasuk suatu
antibiotik sefamisin), sefotaksim dan moksalatam.
d. Generasi keempat adalah terdiri dari cefepime.
Cefepime mempunyai spektrum antibakteri yang luas yaitu aktif terhadap streptococci
dan staphylococci (Harvey, Champe, 2009).
3. Golongan tetrasiklin
Tetrasiklin
merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakteriostatik yang menghambat
sintesis protein. Golongan ini aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan
gram negatif. Tetrasiklin merupakan obat pilihan bagi infeksi Mycoplasma
pneumonia, chlamydiae dan rickettsiae. Tetrasiklin diabsorpsi di usus halus dan
berikatan dengan serum protein. Tetrasiklindidistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh yang kemudian diekskresi melalui urin dan empedu (Katzung, 2007).
4. Golongan aminoglikosida
Aminoglikosida
termasuk streptomisin, neomisin, kanamisin dan gentamisin. Golongan ini
digunakan untuk bakteri gram negatif enterik. Aminoglikosida merupakan
penghambat sintesis protein yang ireversibel (emedicineheath, 2011).
5. Golongan makrolida
Golongan
makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga
merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan
menghambat sintesis protein kuman. Antara obat dalam golongan ini adalah
eritromisin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif (emedicineheath,
2011).
6. Golongan sulfonamida dan trimetropim
Sulfonamida
menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Trimetropim menghambat asam
dihidrofolik reduktase bakteri. Kombinasi sulfamektoksazol dan trimetoprim
untuk infeksi saluran kencing, salmonelosis dan prostatitis (emedicineheath,
2011).
7. Golongan flurokuinolon
Flurokuinolon
merupakan golongan antibiotik yang terbaru. Antibiotik yang termasuk dalam
golongan ini adalah ciprofloksasin (emedicineheath, 2011).
c.
Penggunaan antibiotik yang benar
Antibiotik
hanya dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
dan tidak bermanfaat untuk mengobati penyakit akibat virus seperti flu atau
batuk. Antibiotik harus diambil dengan preskripsi dokter. Dosis dan lama
penggunaan yang ditetapkan harus dipatuhi walaupun telah merasa sihat, selain
itu, antibiotik tidak boleh disimpan untuk kegunaan penyakit lain pada masa
akan datang dan tidak boleh dikongsi bersama orang lain walaupun gejala
penyakit adalah sama (Centers for Disease Control and Prevention, 2010).
Antibiotik
yang dipreskripsi hanya boleh digunakan bagi penyakit berjangkit yang dialami
pada masa itu sahaja. Antibiotik hanya berkesan jika diambil seperti yang telah
disarankan oleh dokter atau ahli farmasi. Antibiotik juga dapat menyebabkan
keracunan, jadi jangan makan berlebihan dan semua kandungan obat lama atau yang
tidak diperlukan harus dibuang, selain itu, pasien harus berjumpa dokter atau
ahli farmasi dengan segera jika mengalami efek samping semasa mengambil
antibiotik (Ibrahim, 1996).
d. Resistensi antibiotik
Resistensi
antibiotik adalah kuman dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik
melalui tiga mekanisme yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam
sel mikroba, inaktivasi obat dan mikroba mengubah tempat ikatan antibiotik
(Gunawan, 2009).Menurut ational Institute of Allergy and Infectious Disease
(2011), penyebab terjadinya resistensi antibiotik adalah mutasi genetik dan
transfer genetika mikroba, sehingga menjadi lebih kebal terhadap antibiotik; penggunaan
antibiotik yang tidak sesuai jangka terapi yang dianjurkan yaitu kurang dari
lima hari; diagnosis yang kurang tepat sehingga antibiotik yang diberikan
kurang tepat; meningkatnya penggunaan antibiotik di rumah sakit dan
kecenderungan antibiotik yang dibeli bebas atau tanpa resep dokter.
Resistensi
antibiotik menyebabkan infeksi yang sering menjadi sulit untuk diobati dan
dapat membahayakan nyawa serta pasien yang terinfeksi memerlukan terapi yang
lebih lama dan mahal. Sudah banyak ditemukan beberapa kuman yang resisten atau
kebal terhadap antibiotik di seluruh dunia. Misalnya kasus yang paling populer
adalah bakteri Staphylococcus aureus menjadi resisten terhadap antibiotik
seperti methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang dapat memberi
efek kepada individu di hospital maupun masyarakat dan semestinya susah untuk
dirawat dengan efektif (Hildreth, 2009).
3.
Tumbuhan Mahoni (S. Mahagoni (L.) Jacq.)
a.
Klasifikasi
Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan
berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo
: Sapindales
Famili
: Meliaceae
Genus : Swietenia
Spesies :
Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
Mahoni
termasuk tumbuhan tropis dari famili Meliaceae yang berasal dari Hindia Barat.
Tumbuhan ini dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati, pinggir pantai, dan
dijalan-jalan sebagai pohon peneduh. Perkembang-biakannya dengan menggunakan
biji, cangkokan, atau okulasi. Untuk tanaman mahoni yang akan digunakan sebagai
tanaman obat, maka tidak boleh diberi pupuk kimia (anorganik) maupun pestisida.
Buahnya pahit dan berasa dingin (Harianja, 2008).Tanaman ini merupakan tanaman
tahunan dengan tinggi ± 5-25 m, berakar tunggang, berbatang bulat, percabangan
banyak dan kayunya bergetah. Daunnya majemuk menyirip genap, helaian daun
berbentuk bulat telur, ujung dan pangkalnya runcing, dan tulang daunnya
menyirip. Daun muda berwarna merah, setelah tua berwarna hijau. Bunganya
majemuk tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Buahnya bulat
telur, berlekuk lima, berwarna cokelat, di dalam buah terdapat biji berbentuk
pipih dengan ujung agak tebal dan warnanya coklat kehitaman.(Yuniarti, 2008).
b.
Kandungan
biji mahoni
Mahoni adalah salah
satu tanaman herbal yang mempunyai kandungan flavonoid dan saponin, kedua zat
ini bekerja saling sinergi untuk menurunkan demam, melancarkan peredaran darah,
terutama untuk mencegah tersumbatnya saluran darah, mengurangi kadar kolesterol
dan penimbunan lemak pada dinding pembuluh darah, membantu mengurangi rasa
sakit, pendarahan, dan lebam, serta bertindak sebagai antioksidan untuk
menyingkirkan radikal bebas (Yuniarti, 2008).
Flavonoid bersifat
desinfektan yang bekerja dengan cara mendenaturasi protein yang dapat
menyebabkan aktifitas metabolisme sel bakteri berhenti karena semua aktifitas
metabolisme sel bakteri dikatalisis oleh suatu enzim yang merupakan protein.
Berhentinya aktifitas metabolisme ini akan mengakibatkan kematian sel bakteri,
selain itu flavonoid juga bersifat bakteriostatik yang bekerja melalui
penghambatan sintesis dinding sel bakteri (Trease dan Evans, 1978).
Saponin dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi
membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak
dan lisis (Siswandono, 1995)Khasiat Menyembuhkan
Asam urat, rematik, diabetes, anti kanker/tumor, menyuburkan pria/wanita, aman
dikonsumsi dalam jangka panjang.
4.
Demam
a.
Definisi
demam
Demam adalah peninggian
suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan
peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005).
Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat
dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral
temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro
& Zieve, 2010). Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah
hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C
yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering
terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello, 2005).
b.
Etiologi
demam
Demam dapat disebabkan
oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri
yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia,
bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,
bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis,
2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi
parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,
toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi
dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu
lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),
penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis,
dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan
pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro
& Zieve, 2010). Anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek
samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Faktor non
infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan
otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya
(Nelwan, 2009).
c.
Patofisiologi
demam
Demam terjadi karena
adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang
dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah
pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah
produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya, salah satu
pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh
bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen
endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini
pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga
dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand,
2005).
Proses terjadinya demam dimulai
dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh
pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun.
Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan
pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin
(Dinarello, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini
memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut, sehingga
akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut
(Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu:
fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase
kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi
pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi
panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu
fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan
panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase
kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga
tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal, 2006).
Patofisiologi demam dan efek antipiretik(Dalal,
2006).
d.
Penatalaksanaan
demam
Demam merupakan
mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik
patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh
yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam
dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi, akan
tetapi, diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila
penderita dengan umur <3 bulan dengan suhu rektal >38°C,
penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu
>40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro
& Zieve, 2010).
e.
Terapi
non-farmakologi
Terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:
a.
Pemberian
cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang
cukup.
b.
Memberikan
penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan
pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan
satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.
c.
Memberikan kompres hangat pada penderita.
Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan
berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan
meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).
f.
Terapi
farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi
dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama
(Graneto, 2010), untuk anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol
sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi
antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, 2010).Pemberian
antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk mengatasi
penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi
bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur
bakteri apabila memungkinkan (Graneto, 2010)
1. Parasetamol
a.
Definisi
Parasetamol
(asetaminofen) merupakan metabolit aktif dari fenasetin dengan efek antipiretik
dan analgesik lemah (Wilmana & Gan, 2007). Nama lain parasetamol Acetaminofen,
APAP, Paracetamolo, Paracetanol (University of Alberta, 2009) Nama IUPAC: N-(4-hydroxyphenyl)acetamide.
Rumus bangun asetaminofen adalah:
b.
Farmakokinetik
Parasetamol diberikan
secara oral dan diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi di dalam plasma dicapai dalam 30-60 menit. Masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh dan berikatan dengan
protein plasma secara lemah (Wilmana & Gan, 2007). Ikatan dengan protein
plasma sebesar 25%. Parasetamol akan dimetabolisme di dalam hati oleh enzim
mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida.
Asetaminofen akan dioksidasi oleh CYP2E1 membentuk metabolit yaitu N-acetyl-p-benzoquinone
yang akan berkonjugasi dengan glutation yang kemudian dieksresikan melalui
ginjal (University of Alberta, 2009). N-acetyl-p-benzoquinone merupakan
metabolit minor tetapi sangat aktif. Akan tetapi N-acetyl-p-benzoquinone merupakan
metabolit yang dapat merusak hati dan ginjal jika terkumpul dalam jumlah besar
(Frust & Ulrich, 2007). Parasetamol dieksresikan melalui ginjal, sebagian
sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Wilmana,
2007).
c.
Farmakodinamik
Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah dengan
cara menghambat COX-1 parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik (Wilmana
& Gan, 2007). Penelitian terbaru menyatakan bahwa parasetamol
menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX yang berbeda dari COX-1
dan COX-2 yaitu enzim COX-3 (University of Alberta, 2009). Sifat antipiretik
dari parasetamol dikarenakan efek langsung ke pusat pengaturan panas di
hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer, berkeringat, dan
pembuangan panas (University of Alberta, 2009).
d.
Efek
samping
Pemberian parasetamol yang berlebihan akan menyebabkan
hepatotoksik dan nefropati analgesik (Wilmana, 2007). Dosis tinggi dari
parasetamol akan menyebabkan saturasi dari glutation sehingga terjadi
penimbunan N-acetyl-p-benzoquinone. N-acetyl-p-benzoquinone akan
berinteraksi dengan sitoskleton sel hati yang kemudian akan membuat sel menjadi
melepuh dan akhirnya sel hati tersebut akan mati (Moore et al., 1985).
Kematian sel dalam jumlah besar ini akan menyebabkan nekrosis hati. Pemberian
parasetamol maksimal dalam satu hari adalah 4 g (University of Alberta, 2009).
Pemberian parasetamol sebanyak 15 g dapat menyebabkan hepatotoksik yang parah
dengan nekrosis sentrilobular, dan terkadang bersamaan dengan nekrosis tubular
ginjal akut (Frust, 2007). Gejala awal keracunan parasetamol adalah anoreksia,
mual, dan muntah. Untuk mengatasi keracunan parasetamol dapat diberikan
N-asetilsistein (prekursor glutation) (Wilmana, 2007).
5.
MASERASI
Maserasi
merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus
dinding seldan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif
akan larut dank arena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di
dsalam sel dengan yang diluar sel,maka larutan yang terpekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan diluar sel dengan larutan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk
penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, stirak dan lain-lain.Keuntungan cara penyarian dengan
maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan sederhana dan mudah diusahakan,
unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam, biaya
operasionalnya relatif rendah, prosesnya relatif hemat penyari, tanpa
pemanasan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaanya lama, dan penyariannya
kurang sempurna
6.
KAPSUL
a. Definisi
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin;
tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (Depkes RI,
1995).Macam-macam kapsul:
1. Hard capsule (cangkang kapsul keras)
Kapsul cangkang keras terdiri atas wadah dan tutup yang dibuat
dari campuran gelatin, gula dan air, jernih tidak berwarna dan pada dasarnya
tidak mempunyai rasa. Biasanya cangkang ini diisi dengan bahan padat atau
serbuk, butiran atau granul. Ukuran kapsul mulai dari yang besar sampai yang
kecil yaitu 000, 00, 1, 2, 3, 4, 5.
2.
Soft
capsule (cangkang kapsul lunak)
Kapsul gelatin lunak dibuat dari gelatin dimana gliserin atau
alkohol polivalen dan sorbitol ditambahkan supaya gelatin bersifat elastis
seperti plastik. Kapsul-kapsul ini mungkin bentuknya membujur seperti elips
atau seperti bola dapat digunakan untuk diisi cairan, suspensi, bahan berbentuk
pasta atau serbuk kering (Ansel, 1989).
b.
Pengujian
Sediaan Kapsul
Kapsul yang diproduksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Keseragaman
Bobot
Uji keseragaman bobot dilakukan dengan penimbangan 20
kapsul sekaligus dan ditimbang lagi satu persatu isi tiap kapsul. Kemudian
timbang seluruh cangkang kosong dari 20 kapsul tersebut. Lalu dihitung bobot
isi kapsul dan bobot rata-rata tiap isi kapsul. Perbedaan bobot isi tiap kapsul
terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul, tidak boleh melebihi dari yang
ditetapkan
2. Waktu hancur
Uji ini dimaksudkan
untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing
monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya
terlarut sempurna. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan memenuhi
persyaratan spesifikasi waktu (dalam 15 menit) (Depkes RI, 1979).
3. Disolusi
Uji ini dimaksudkan
untuk mengetahui seberapa banyak persentasi zat aktif dalam obat yang
terabsorpsi dan masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi.
Persyaratan dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 85% (Q) dari jumlah
yang tertera pada etiket.
B.
Endotoksin, peradangan,
rangsangan pirogenik lain
|
Analisis
data statistik
|
Monosit, magrofak, sel-sel
kupffer
|
Meningkatkan
titik peyetalan suhu
|
Area preopetik Hipotalamus
|
demam
|
sitokin
|
prostaglandin
|
Bahan alam
|
Ekstrak biji mahoni
|
Menghamabat sintesis
postagandin
|
Flavonoid
|
Ekstak
bunga amboja
|
Flavonoid
|
Panas turun dan menghilangkan
nana atau tidak
|
Efek
sebagai antibiotik
|
Parasetamol
|
Efek antipiretik
|
Ukur efek antipiretik
masing masing kelompok
|
Kombinasi Bunga
Kamboja ((Plumeria Alba)
Dengan Biji Mahoni(S. Mahagoni (L.) Jacq.) Sebagai Antipiretik Pada
Mencit Putih (memiliki
efek yang sinergis, atau efek aditif, atau efek antagonis)
|
Gambar. Skema kerangka
pemikiran
C.
PENELITIAN TERKAIT
1.
Judul : Antimicrobial activity of n-hexane extracts of
red frangipani (plumeria
rocea)
Penulis : Muhammad Ali Husni, Murniana,
Hira Helwati, dan Nuraini
Tahun
: 2013
Hasil : Kamboja
merah mengandung beberapa jenis metabolit sekunder flavonoid, alkaloid,
terpenoid, steroid, polifenol, dan saponin. Ekstrak n-heksana tumbuhan kamboja merah
memiliki aktivitas antimikrobial terhadap E. Coli dan S. Aureus dengan
aktivitas tertinggi pada daun yaitu 19,7% dan 13,3%.
2. Judul
: Uji bioaktivitas antibakteri tanaman obat
tradisional (Antibacterial
Bioactivity Test of
Traditional Herb)
Penulis
: I Made Merdana
Tahun : 2010
Hasil : Hasil
uji bioaktivitas antibakteri lima jenis daun tanaman obat tradisional yang di
koleksi dari Desa Tajun, ada empat jenis yang menunjukkan aktivitas antibakteri
terhadap Eschercia coli yaitu tanaman
manggis, mangga,kamboja dan kembang sepatu.
3.
Judul : Uji efek antipiretik infusa daun sesewanua(Clerodendron squamatum Vahl.)
Terhadap
kelinci jantan yang diinduksi vaksin DTP HB
Penulis
: Clementia Luigy Moot, Widdhi Bodhi, Jeane Mongi
Tahun : 2013
Hasil :Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, infusa daun Sesewanua pada
konsentrasi
20%, 40% dan 80% mempunyai efek antipiretik terhadap kelinci jantan yang
terinduksi vaksin DTP HB.
4. Judul
: Aktivitas Antibakteri dan Penyembuhan
Luka Fraksi-Fraksi Ekstrak Etanol
Daun Kamboja (Plumeria acuminata Ait) pada
Kulit Kelinci yang Diinfeksi Staphylococcus aureus
Penulis : Gunawan Pamudji Widodo, Dwi Ningsih, Dan Mona
Aprilia
Tahun :2010
Hasil :Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa krim fraksi n-heksan, etil asetat dan etanol
dari ekstrak etil asetat daun kamboja (Plumeria acuminataAit) mampu
menyembuhkan luka pada punggung kelinci yang sudah diinfeksi dengan Staphylococcus
aureusdi mana fraksi yang mempunyai aktivitas paling tinggi adalah fraksi
etil asetat. Ketiga, konsentrasi 20% krim fraksi etil asetat paling optimal
dalam menyembuhkanluka terinfeksi Staphylococcus aureus
D.
Hipotesis penelitian
Adanya pengaruh
formulasi sediaan kapsul bunga kamboja ((plumeria alba) sebagai antibiotik dikombinasikan dengan biji
mahoni(s. Mahagoni (l.) Jacq.)
Sebagai antipiretik pada mencit putih
BAB III
METODELOGI
A.
Desain
penelitian
Penelitian
ini termasuk jenis penelitian true eksperimental
yaitu mengamati kemungkinan dapat
sebagai antipiretik dengan melakukan pengamatan terhadap kelompok eksperimental
pada berbagai kondisi perlakuan dan membandingkannya dengan kelompok kontrol.
B.
Populasi
dan Sampel penelitian
1.
Populasi
Penelitian
Populasi
penelitian adalah mencit (Mus musculus).
2. Sampel Penelitian
Sampel
penelitian adalah mencit putih jantan dengan BB 20-30 gram, umur 2-3 bulan yang
diinduksi dengan vaksin DTP HB.
C.
Variabel
Penelitian
1. Variabel Independent
Variabel independent adalah variabel yang
mempengaruhi variabel dependen.
Variabel independent dalam penelitian
ini adalahantibiotik dikombinasikan dengan biji
mahoni(s. Mahagoni (l.) Jacq.)
Sebagai antipiretik pada mencit putih.
2. Variabel
dependent
Variable
dependent adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabelindependent.
Variabel dependent dalam penelitian
ini adalah sebagai antipiretik.
3. Variabel
Terkendali
Variabel
terkendali adalah variabel yang dianggap berpengaruh selain variabelindependent, sehingga kualifikasinya perlu
ditentukan agar hasil yang didapatkan dapat diulang dalam penelitian lain.
Dalam penelitian ini variabel terkendali adalah kondisi mencit dan konsentrasi
ekstrak bunga kamboja dan biji mahoni.
D.
Definisi
Operasional Variabel
No
|
variabel
|
Definisi
variabel
|
Alat
ukur
|
Skala
ukur
|
Hasil
ukur
|
1
|
Herbal
bunga kamboja
|
Diberikan
secara oral dengan dosis 48mg/kgbb
|
Timbanagan
digital
|
Rasiao
|
Satuan
gram
|
2
|
Herbal biji
mahoni
|
Di berikan
secara oral dengan dosis 192 mg/kgBB
|
|
|
|
3
|
Parasetamol
Kontrol
(+)
|
Diberikan
secara oral dengan dosis 58,8 mg kg/BB dalam 10 ml aquades
|
Timbanagan
digital
|
Rasiao
|
Satuan
gram
|
4
|
Kombinasi bunga kamboja
dengan biji mahoni
|
Diberikan secara oral dalam
bentuk larutan berupa kombinasi antara larutan bunga kamboja 48mg/kgBB dengan
infusa biji mahoni 192mg/kgBB dan Diberikan secara oral dalam bentuk larutan
berupa kombinasi antara larutan bunga kamboja 96 mg/kgBB dengan infusa biji
mahoni 192 mg/kgBB
|
|
|
|
5
|
Antipiretik
|
Hasil
pengukuran antipiretik
|
Termometer
digital
|
Rasio
|
Satuan
gram
|
6
|
Mencit
|
Mencit putih jantan dengan
berat 20-30 gram dan berumur 2-3 minggu sebanyak 5 ekor
|
Timbangan digital
|
Rasio
|
Satuan gram
|
E.
Tempat
Penelitian
Penelitian
dilakukan di Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi Institut Ilmu
Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.
F.
Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Juni 2014
G.
Instrumen Penelitian
1.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan
antibiotik adalah perangkat rotary
evaporator, labu maserasi, labu ekstraksi, cawan petri, erlenmeyer, labu ukur,
gelas ukur, timbangan dan penyemprot, perangkat distilasi, corong, kertas
saring, gelas kimia, tabung reaksi dan rak tabung.
Alat yang digunakan dalam pembuatan
antipiretik adalah alat-alat gelas (pyrex), batang pengaduk, timbangan
analitik, waterbath, kain flanel, aluminium foil, kapas, dispo 1
ml (terumo), dispo 5 ml (terumo), nasogastric tube (NGT) no. 5 (terumo)
dan termometer digital, termometer air raksa, lumpang dan alu. Bahan yang
digunakan dalam penelitian adalah infusa daun Sesewanua konsentrasi 20%, 40%
dan 80%, kelinci jantan, aquadest, parasetamol, alkohol 70%, vaksin DTP HB.
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah pelarut n-heksana,
reagen Mayer (KI dan HgCl2), reagen Dragendorff (KI, Bi(NO)3), reagen
Liebermann-Burchard (CH3COOH dan H2SO4) dan reagen Wagner (I2 dalam KI),
aquades, kertas saring, alkohol 70%, kloroform dan cakram vancomycin serta
cakram ciprofloxacin sebagai kontrol positif.
3. Sampel
Sampel yang digunakan
adalah bunga, daun dan kulit batang yang merupakan bagian dari tumbuhan kamboja
putih yang diambil di Desa mojoroto Kecamatan Mojoroto Kabupaten Kediri . Bioindikator yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mikroba E. coli dan S. aureus yang
berasal dari Laboratorium Kesehatan Bhati wiyata kediri
H. Prosedur
Pengumpulan Data
1.
Perhitungan
dosisi
a. Perhitungan dosis ekstrak bunga kamboja konsentrasi 10
%
dosis pada kelinci = 10% = 10g/1
kg
= 12g/
1,2 kg
konversi pada mencit = 12 g/ 1,2kg X 0,04
= 0,48g/20 g
Konversi pada manusia = Dosis X konversi
= 48 mg/ 20g X 389,7
= 18,619.2 mg/70kgBB
b. Perhitungan dosis ekstrak bunga kamboja konsentrasi
20 %
dosis pada kelinci = 20%
= 20g/1 kg
= 24g/
1,2 kg
konversi pada mencit = 24 g/ 1,2kg X 0,04
= 0,96g/20 g
Konversi
pada manusia = Dosis X konversi
= 96mg/ 20g X 389,7
= 37,411.2 mg/70kgBB
c.
Perhitungan
dosis infusa biji mahoni 40%
dosis pada kelinci =
40% = 40g/1 kg
= 48g/
1,2 kg
konversi pada mencit = 48g/ 1,2kg X 0,04
= 1,92g/20 g
Konversi
pada manusia = Dosis X konversi
= 129 mg/ 20g X 389,7
= 74,822.2 mg/70kgBB
2.
Pembuatan ekstrak bunga kamboja
Sebanyak ± 1 kg sampel kamboja
merah (kulit batang, daun dan bunga) dibersihkan, dikeringanginkan, dihaluskan
dan dimaserasi dengan pelarut n-heksana selama 3x24 jam. Proses maserasi
dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh larutan jernih. Selanjutnya disaring,
fitrat diuapkan dengan rotary evaporator untuk menghasilkan ekstrak
pekat. Ekstrak yang diperoleh ditentukan rendemennya dengan cara berat ekstrak
dibagi dengan berat sampel awal dan dikali seratus persen. Ekstrak pekat
disimpan.
3. Uji Hayati Antimikrobial
Ekstrak n-heksana yang
diperoleh ditimbang sebanyak 5 g, dilarutkan dengan pelarut n-heksana sebanyak
100 mL, untuk memperoleh larutan uji 10% (b/v). selanjutnya larutan ini
dijadikan larutan stok untuk membuat larutan dengan konsentrasi 5%, 2,5%, dan
1,25%. Pengujian antimikrobial dilakukan dengan menggunakan metode cakram.
Media yang digunakan adalah media Mueller Hinton Agar (MHA) dengan komposisinya
casein hidrolysate 17,5 g, beef extract 300 g, starch 1,5 g, dan agar 17 g.
Media yang digunakan dibuat dalam 2 tahap. Pembuatan media MHA I adalah dengan
cara melarutkan 6.8 gram bubuk MHA ke dalam 200 mL aquades, kemudian dipanaskan
selama 1 menit. Selanjutnya disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama
15 menit dan didinginkan sampai sekitar 40º-45ºC. Media
yang telah disterilkan dituang dalam cawan petri ± 10 mL secara aseptik dan
dibiarkan padat. Media II digunakan untuk inokulasi bakteri, dibuat dengan
melarutkan MHA sebanyak 3.4 gram dilarutkan dalam 100 mL aquades, kemudian
dipanaskan sampai semua larut. Media dibagi dalam erlenmeyer 50 mL
masing-masing 5 mL, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama
15 menit, selanjutnya didinginkan sampai sekitar suhu 40ºC. Kemudian
ditambahkan 1 mL suspensi bakteri ke dalam media tersebut dan dihomogenkan.
Media II tersebut dituangkan ke atas media I, serta digoyangkan hingga merata
dan dibiarkan membeku.
4. Uji
antimikroba
Uji
antimikrobial dilakukan dengan meletakkan cakram yang berisi larutan uji
ekstrak n-heksana, kontrol positif (Vancomycin (30 g/mL) untuk S. aereus dan
ciprofloxacin (5 g/mL) untuk E. Coli dan kontrol negatif (n-heksana), pada
area yang berbeda diatas media tumbuh bakteri. Inokulasi diinkubasi pada suhu
37ºC selama 24 jam. Pertumbuhan bakteri diamati untuk setiap area. Bila zona
hambatan belum tampak, dibiarkan 24 jam lagi. Zona hambatnya diukur dengan
penggaris dalam satuan milimeter.
5. Pengujian
hewan coba
Pembuatan stok bakteri dilakukan
dengan mengambil satu ose dari sediaan
bakteri yang dibiakkan, kemudian digoreskan ke media Brain Heart Infusion
(BHI),diinkubasi 35°C-37°C selama 18-24 jam. Bulu pada punggung kelinci
dicukur kemudian dipilih 3 lokasi penyuntikan dengan jarak masing-masing lokasi
± 5 cm. Suspensi Stapylococcus aureus diinfeksikan secara subkutan
sebanyak 0,25 ml pada masing-masing lokasi pada kulit punggung kelinci yang
telah disiapkan. Pengamatan munculnya eritema setelah 24 jam dam pemberian krim
dilakukan setelah 48 jam pada daerah infeksi. Krim daun kamboja dengan
konsentrasi 25%, 20% dan 15% dioleskan pada 3 lokasi dibagian kiri punggung
6.
Pembuatan Infusa simplisia biji mahoni
Biji mahoni dibuat infusa pada
konsentrasi 20%, 40% dan 80%. Ditimbang simplisia biji mahoni untuk masing- masing
konsentrasi yaitu sebanyak 20 g, 40 g dan 80 g. Aquadest sebanyak 100 ml
diletakkan pada waterbath, saat aquadest telah mencapai suhu 90ºC, dimasukkan
simplisia biji mahoni 20 g, 40 g dan 80 g. Diaduk berulang-ulang selama 15
menit lalu diserkai dengan kain flanel. Apabila infusa < 100 ml ditambahkan
aquadest secukupnya pada ampas infusa tersebut hingga diperoleh volume 100 ml.
7.
Pembuatan Larutan Parasetamol
Ditimbang serbuk parasetamol 58,8
mg/KgBB kemudian dicampurkan dalam 10 ml aquadest, diaduk hingga homogen.
8.
Perlakuan Hewan Uji
Kelinci jantan yang telah
diadaptasikan selama 1 minggu kemudian dipuasakan selama 8 jam. Diukur suhu
rektal masing-masing hewan uji sebagai suhu normal. Kelinci jantan diinduksi
demam dengan vaksin DTP HB secara intra muscular sebanyak 0,25 ml/KgBB.
Pengukuran kembali suhu rektal pada jam ke 16 sebagai suhu puncak terjadinya
demam. Kelinci jantan kemudian diberi sediaan uji secara per oral kemudian
dilakukan kembali pengukuran suhu rektal tiap 1 jam selama 4 jam setelah p.o.
9.
Pengujian Efek Antipiretik Infusa simplisia biji mahoni
Dilakukan pengujian efek
antipiretik masing-masing kelompok perlakuan yang diberi infusa biji mahoni 20%, 40% dan 80%, aquadest dan parasetamol secara
p.o. Suhu rektal kelinci diukur menggunakan termometer digital tiap 1 jam
selama 4 jam setelah pemberian per oral.
Kelompok
|
Perlakuan
|
I
|
kontrol normal, mencit normal diberi aquades
peroral
|
II
|
Kontrol
negatif, mencit yang telah di induksi secara intra veskulas S. Aereus dan diberi brciprofloxacin (5g
/mL) peroral
|
III
|
Kontrol positif, mencit yang telah di
beri vaksin DTP HD 0,25 ml secara intra veskular dan diberikan parasetamol
58,8 mg/kgBB peroral.
|
IV
|
Mencit
antipiretik di beri infusa biji mahoni 1,92g/20
g secara peroral
|
V
|
Mencit yang terkena bakteri di berikan
ekstra bunga kamboja sebayak 48mg/kgBB secara peroral
|
VI
|
Kombinasi
1, mencit yang antipiretik di beri larutan bunga
kamboja 48mg/kgBB dengan infusa biji mahoni 192mg/kgBB per oral
|
VII
|
Kombinasi 2, mencit yang antipiretik
di berikan larutan larutan bunga kamboja 96 mg/kgBB dengan
infusa biji mahoni 192 mg/kgBB
|
Tabel.
Kelompok perlakuan
10. Skema
kerja
a.
1
kg bunga kamboja putih
|
Dipotong-potong
di keringkan
|
Diblender
dihaluskan
|
Dimasukkan
dalam elenmeyer di rendam dengan pelarut n-heksana 3 X 24 jam
|
Di
dapatkan ekstrak pekat
|
Di
saring fitrat di uapakan
|
Gambar.
Skema kerja pembuatan simplisia
b.
Ekstrak
5 gram
|
Uji
larutan 10 % (b/v)
|
Dilarutkan
100 ml n-heksana
|
Buat
konsentrasi 5%,2,5%, 10 %
|
Gambar.
Skema kerja pembuatan konsentrasi ekstrak
c. Skema
pembuatan bakteri
Media
MHA 1
|
3,49
gram bubuk MHA
|
Media
MHA 2
|
3,49
gram bubuk MHA
|
Metode
cakram
|
Dipanaskana
1 menit
|
Ditamabahakan
aquadest 200 ml
|
Diseterilkan
di autoclave suhu 1210C selama 15 menit
|
Di
larutkan dengan aquadest 100 ml
|
Di
panaskan sampai larut
|
Di
masukkan dalam elenmeyer 5 ml
|
Diseterilkan
di autoclave suhu 1210C selama 15 menit
|
Dinginkan
sampai suhu 40-45 0C
|
Dinginkan
sampai suhu 40-45 0C
|
Dituang
kedalam cawan petri 10 ml
|
Ditambahkan
1 ml suspensi bakteri media homogenkan
|
Di
biarkan sampai padat
|
Media II tersebut dituangkan ke atas media I, serta
digoyangkan hingga merata dan dibiarkan membeku.
|
Gambar. Skema
kerja pembuatan bakteri
d. Pengunjian
antimikrobal
Zona
hambatnya diukur dengan penggaris dalam satuan milimeter
|
Uji antimikrobal
|
meletakkan
cakram yang berisi
|
kontrol
positif (Vancomycin (30g/mL)
|
kontrol
negatif (n-heksana) ciprofloxacin (5g /mL)
|
S.
aereus
|
E.
Coli
|
diinkubasi
pada suhu 37ºC selama 24 jam
|
Gambar. Skema kerja Pengunjian
antimikrobal
e.
Pengujian hewan coba
Pengujian
pada kelinci
|
Bulu
pada punggng kelinci di cukur. Dipilih lokasi penguntikan dengan jarak kurang
lebih 5 cm.
Di
infeksi dengan bakteri
|
Di
infeksikan bakteri E.coli dan stapylococus areus secara subkotan 0,25 ml.
Pengamatan di lakukan 24Jam. Di berikan ekstak bunga
Amati nanah pada punggung kelinci
apa mengecil
|
kamboja
selama 48 jam
Gambar. Skema kerja pengujian hewan
f.
Simpilisia infusa
mahoni
Ditimbang
simplisia 80 gram
|
Diaduk berulang-ulang selama 15
menit
|
Dilarutkan 100 ml aquadest
|
Diletakan
di water bhat di panaskan sampai
suhu 900C
|
Ad
100 ml
|
Di saring dengan kain fanel
|
Gambar.
Skema kerja pembuatan infusa biji mahoni
g.
Pembuatan larutan parasetamol
Aduk
ad homogen
|
Ditimbang parasetamol 58,8 mg kg/ BB
|
Dicampur 10 ml aquadest
|
Gambar. Skema
kerja pembuatan larutan parasetamol
h.
Perlakuan hewan uji
Kelinci
|
Di induksi DTP HB
|
Pemberian
ekstrak
|
pemberian ekstak infusa di berikan secara oral
kemudia setelah 4 jam suhu tubuh pada kelinci di cek ulang apakah suhu tubuh
mengalami penurunan apa tidak .
Hasil
|
gambar.
Skema kerja perlakuan hewan uji
i.
kombinasi Skema
kerja pembuatan kombinasi ekstak bunga kamboja 49mg/ kgBB dan infusa biji
mahoni 129 mg/20 gBB mencit
Ditimbang
Ekstak bunga kamboja
|
Larutan
infusa biji mahoni 129 mg/20gBB
|
di larutkan dengan 1 ml aquades
Dicampur
dan dihomogenkan
|
Larutan
ekstak bunga kamboja dosis 49 mg/ kgBB
|
Kombinasi
1
|
Gambar.
Skema kerja pembuatan kombinasi ekstak bunga kamboja 49mg/ kgBB dan
infusabiji mahoni 129 mg/20 gBB mencit
j.
kombinasi Skema
kerja pembuatan kombinasi ekstak bunga kamboja 96 mg/ kgBB dan infusa biji
mahoni 129 mg/20 gBB mencit
Ditimbang
Ekstak bunga kamboja
|
Larutan
infusa biji mahoni 129 mg/20gBB
|
di larutkan dengan 1 ml aquades
Larutan
ekstak bunga kamboja dosis 96 mg/ kgBB
|
Kombinasi
1
|
Dicampur
dan dihomogenkan
|
Gambar. Skema kerja pembuatan kombinasi ekstak bunga
kamboja 96 mg/ kgBB dan infusabiji mahoni
129 mg/20 gBB mencit
k.
Mencit
|
Puasa
8 jam
|
Diinduksi
vaksin DTP HB secara intra mascular 0,25 ml
|
Diinduksi
bakteri E.coli dan S. Areus secara intravescular 0,25 ml
|
Perlakuan
|
Kontrol
negatif
|
Kontrol
positif
|
infusa biji mahoni
192mg/kgBB dan Diberikan secara oral
|
Kombinasi
|
Parasetamol
58,8 mg/kgBB
|
(Vancomycin
(30g/mL)
|
Diberikan
secara oral dengan dosis 48mg/kgBB
|
Aquadest
|
ciprofloxacin
(5g /mL)
|
Kombinasi 1 larutan bunga kamboja 48mg/kgBB dengan
infusa biji mahoni 192mg/kgBDiberikan secara oral dalam bentuk larutan
berupa kombinasi antara larutan bunga kamboja 48mg/kgBB dengan infusa biji
mahoni 192mg/kgBB B
|
Kombinasi 2 larutan bunga kamboja 96 mg/kgBB dengan
infusa biji mahoni 192mg/kgBB
|
Pengukuraan suhu tubuh mencit
|
Comments