ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOID
AHMAD
FAUZI
10111053
Tingkat
III/Semester 5
FAKULTAS
S1 FARMASI INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI
WIYATA KEDIRI
2013/2014
PENDAHULUAN
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang tidak akan
pernah habis, sebagai sumber inovasi dalam penemuan dan pengembangan obat-obat
baru ataupun untuk menujang berbagai kepentingan industri. Hal ini terkait dengan
keberadaannya di alam yang tidak terbatas jumlahnya. Dari 250.000 jenis
tumbuhan tingkat tinggi seperti dikemukan di atas 54 % diantaranya terdapat di
hutan-hutan tropika dan Indonesia dengan
hutan tropikanya yang mengandung lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat
tinggi sangat berpotensial untuk diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti
Indonesia.
Indonesia sebagai negara tropis
memiliki beraneka ragam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya
untuk kepentingan manusia. Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah
mengenal tanaman yang mempunyai khasiat obat atau menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Saat ini, para peneliti semakin berkembang untuk mengeksplorasi bahan
alami yang mempunyai aktivitas biologis yang positif bagi manusia. Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dikembangkan, senyawa-senyawa yang memiliki
potensi sebagai antioksidan umumnya merupakan senyawa flavonoid, fenolat, dan
alkaloid.
Senyawa yang paling mudah ditemukan adalah flavonoid karena senyawa ini adalah
kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagai zat berwarna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa
flavonoid termasuk salah satu kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol
dan mengandung antioksidan. Oleh karena jumlahnya yang melimpah di alam,
manusia lebih banyak memanfaatkan senyawa ini dibandingkan dengan senyawa
lainnya sebagai antioksidan.
Penelitian bahan alam biasanya dimulai dari ekstraksi, isolasi dengan
metode kromatografi sehingga diperoleh senyawa murni, identifikasi unsur dari
senyawa murni yang diperoleh dengan metode spektroskopi, dilanjutkan dengan uji
aktivitas biologi baik dari senyawa murni ataupun ekstrak kasar. Setelah
diketahui struktur molekulnya biasanya dilanjutkan dengan modifikasi struktur
untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan yang diinginkan.
DASAR TEORI
A. Pengertian
Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu
kelompok fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan dengan
warna kuning, kuning jeruk, dan merah dapat ditemukan pada buah, sayuran,
kacang, biji, batang, bunga, herba, rempah-rempah, serta produk pangan dan obat
dari tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan obat
herbal. Flavonoid juga dikenal sebagai vitamin P dan citrin, dan merupakan pigmen
yang diproduksi oleh sejumlah tanaman sebagai warna pada bunga yang dihasilkan.
Bagian tanaman yang bertugas untuk memproduksi flavonoid adalah bagian akar
yang dibantu oleh rhizobia, bakteri tanah yang bertugas untuk menjaga dan
memperbaiki kandungan nitrogen dalam tanah.
Senyawa ini berperan penting dalam
menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya
hanya menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada
tingkat spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi
sepanjang sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam
pertahanan diri terhadap hama, penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan
mikrobia, dormansi biji, pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal
pada berbagai jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan
fertilitas jantan.
Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang Amerika
bernama Gyorgy (1936). Secara tidak sengaja Gyorgy memberikan ekstrak vitamin C
(asam askorbat) kepada seorang dokter untuk mengobati penderita pendarahan
kapiler subkutaneus dan ternyata dapat disembuhkan. Mc.Clure (1986) menemukan
pula oleh bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak dari Capsicum anunuum serta
Citrus limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler subkutan. Mekanisme
aktivitas senyawa tersebut dapat dipandang sebagai fungsi “alat komunikasi‟
(molecular messenger) dalam proses interaksi antar sel, yang selanjutnya dapat
berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau mahluk hidup yang
bersangkutan, baik bersifat negatif (menghambat) maupun bersifat positif
(menstimulasi).
Flavonoid adalah sekelompok besar
senyawa polifenol tanaman yang tersebar
luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi. Komponen
tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan terikat atau terkonjugasi
dengan senyawa gula. Lebih dari 4000 jenis flavonoid telah diidentifikasi dan
beberapa di antaranya berperan dalam pewarnaan bunga, buah,dan daun (de Groot
& Rauen, 1998). Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid (yaitu flavonoid tanpa
gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur.
Ada juga senyawa-senyawa fenol yang
berasal dari kombinasi antara kedua jalur biosintesa ini yaitu senyawa-senyawa
flanonoida. Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavonoida yang
memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di
alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga, antodianin memberikan warna
merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna
hijau. Secara biologis flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan
penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit
sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu.
Tidak ada benda yang begitu menyolok
seperti flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada
bunga dan buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga,
antodianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang
terdapat pada pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan
peranan penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah
flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat
tertentu.
Flavonoid merupakan kelompok senyawa
fenolik terbesar yang ditemukan di alam dan berasal dari tumbuhan tingkat
tinggi. Flavonoid mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana
dua cincin benzen (C6) terikat pada satu rantai propan (C3)
sehingga membentuk suatu susunan (C6-C3-C6)
dengan struktur 1,3-diarilpropan. Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari
beberapa jenis, bergantung pada tingkat oksidasi rantai propan dari sistem
1,3-diarilpropan [Achmad, 1985]. Agar mudah, cincin diberi tanda A, B, dan
C,atom karbon dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa
untuk cincin A dan C, serta angka “beraksen” untuk cincin B.
Flavonoid
adalah senyawa yang tersusun dari 15 atom karbon dan terdiri dari 2 cincin
benzen yang dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid
dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
- Flavonoid yang memiliki cincin ketiga berupa
gugus piran. Flavonoid ini disebut flavan atau fenilbenzopiran. Turunan
flavan banyak digunakan sebagai astringen (turunan tanin).
- Flavonoid yang memiiliki cincin ketiga berupa
gugus piron. Flavonoid ini disebut flavon atau fenilbenzopiron. Turunan
flavon adalah jenis flavonoid yang paling banyak memiliki aktivitas
farmakologi.
- Flavonoid
yang memiiliki cincin ketiga berupa gugus pirilium. Flavonoid ini disebut
flavilium atau antosian. Turunan pirilium biasa digunakan sebagai pewarna
alami.
Kerangka dasar karbon pada flavonoid merupakan
kombinasi antara jalur sikhimat dan jalur asetat-malonat yang merupakan dua
jalur utama biosintesis cincin aromatik. Cincin A dari struktur flavonoid
berasal dari jalur poliketida (jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga
unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai
propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur sikhimat) [Achmad, 1985].
Modifikasi flavonoid lebih lanjut, dapat mungkin terjadi pada berbagai
tahap dan menghasilkan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi
gugus hidroksil atau inti flavonoid, isoprenilasi gugus hidroksil atau inti
flavonoid, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi (pembentukan
biflavonoid), pembentukan bisulfat, dan yang terpenting adalah glikosilasi
gugus hidroksil(pembentukan flavonoid O-glikosida) atau inti flavonoid
(pembentukanflavonoid C-glikosida) (Markham, 1988).
Markham (1988) menyatakan bahwa flavonoid pertama yang dihasilkan pada alur
biosintesis flavonoid ialah khalkon, dan semua turunan flavon diturunkan
darinya melalui berbagai alur. Semua golonganflavonoid saling berkaitan, karena
berasal dari alur biosintesis yangsama. Cincin A terbentuk karena kondensasi
ekor-kepala dari tiga unit asam asetat-malonat atau berasal dari jalur
poliketida. Cincin B serta satuan tiga atom karbon dari rantai propan yang
merupakan kerangka dasar C6 – C3 berasal dari jalurasam sikimat (Manitto,
1981).
Polifenol dan turunannya telah lama dikenal memiliki aktivitas antibakteri,
antimelanogenesis, antioksidan dan antimutagen. Sebagai antioksidan polifenol
berperan sebagai penangkap radikal bebas penyebab peroksidasi lipid yang dapat
menimbulkan kerusakan pada bahan makanan, selain itu senyawa antioksidan
berfungsi mencegah kerusakan sel dan DNA akibat adanya senyawa radikal
bebas. Senyawa flavonoid yang merupakan salah satu golongan dari
polifenol sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan masih digunakan
secara terbatas. Hal ini dikarenakan senyawa flavonoid tidak stabil terhadap
perubahan pengaruh oksidasi, cahaya, dan perubahan kimia, sehingga apabila
teroksidasi strukturnya akan berubah dan fungsinya sebagai bahan aktif akan
menurun bahkan hilang dan kelarutannya rendah. Kestabilan dan kelarutan dapat
ditingkatkan dengan cara mengubah senyawa flavonoid menjadi bentuk glikosida
melalui reaksi kimia maupun enzimatik dengan bantuan enzim transferase.
Senyawa-senyawa flavanoid yang umumnya bersifat antioksidan dan banyak yang
telah digunakan sebagai salah satu komponen bahan baku obat-obatan. Bahkan,
berdasarkan penelitian di Jepang, ditemukan molekul isoflavon di dalam tempe.
Oleh karena molekul isoflavon bersifat antioksidan maka tempe merupakan sumber
pangan yang baik untuk menjaga kesehatan, selain kandungan gizinya tinggi.
B. Struktur Flavonoid:
Istilah flavonoida diberikan untuk senyawa-senyawa fenol yang berasal dari
kata flavon, yaitu nama dari salah satu flavonoid yang terbesar jumlahnya dalam
tumbuhan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana
posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari
1.3-diarilpropana dihubungkan oleh jembatan oksigen sehingga membentuk cincin
heterosiklik yang baru (cincin C).
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada
tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1,3-diarilpropana. Flavon,
flavonol dan antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan dialam sering
sekali disebut sebagai flavonoida utama. Banyaknya senyawa flavonoida ini
disebabkan oleh berbagai tingkat alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur
tersebut. Senyawa-senyawa isoflavonoid dan neoflavonoida hanya ditemukan dalam
beberapa jenis tumbuhan, terutama suku Leguminosae.
Pola biosintesis pertama kali disarankan oleh Birch, yaitu : pada tahap
tahap pertama biosintesa flavonoida suatu unit C6-C3 berkombinasi dengan tiga
unit C2 menghasilkan unit C6-C3-(C2+C2+C2).kerangka C15 yang dihasilkan dari
kombinasi ini telah mengandung gugus-gugus fungsi oksigen pada posisi-posisi
yang diperlukan. Cincin A dari struktur flavonoida berasal dari jalur
poliketida, yaitu kondensasi dari tiga unit asetat atau malonat, sedangkan
cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propana berasal dari jalur
fenilpropanoida (jalur shikimat). Sehingga kerangka dasar karbon dari
flavonoida dihasilkan dari kombinasi antara dua jenis biosintes utamadari
cincin aromatik yaitu jalur shikimat dan jalur asetat-malonat. Sebagai akibat
dari berbagai perubahan yang disebabkan oleh enzim, ketiga atom karbon dari
rantai propana dapat menghasilkan berbagai gugus fungsi seperti pada ikatan
rangkap, gugus hidroksi, gugus karbonil, dan sebagainya. Sebagai besar senyawa
flavonoida alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat
pada sutatu gula. Glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu
alkohol yang saling berikatanmelalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan
glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus
karbonil dari gula sama seperti adisi alkohol kepada aldehida yang dikatalisa
oleh asam menghasilkan suatu asetal.
Pada hidrolisa oleh asam, suatu glikosida terurai kembali atas
komponen-komponennya menghasilkan gula dan alkohol yang sebanding dan alkohol
yang dihasilkan ini disebut aglokin. Residu gula dari glikosida flavonoida alam
adalah glukosa, ramnosa, galaktosa dan gentiobiosa sehingga glikosida tersebut
masing-masing disebut glukosida, ramnosida, galaktosida dan
gentiobiosida. Flavonoida dapat ditemukan sebagai mono-, di- atau
triglikosida dimana satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid
terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air dan sedikit larut dalam
pelarut organik seperti eter, benzen, kloroform dan aseton. Antioksidan alami
terdapat dalam bagian daun, buah, akar, batang dan biji dari tumbuh-tumbuhan
obat. Bagian tersebut umumnya mengandung senyawa fenol dan polifenol.
C. Klasifikasi Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit
sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit
sekunder tumbuhan adalah flavonoid, dengan struktur kimia dan peran biologi
yang sangat beragam Senyawa ini dibentuk dari jalur shikimate dan
fenilpropanoid, dengan beberapa alternatif biosintesis. Flavonoid banyak terdapat
dalam tumbuhan hijau (kecuali alga), khususnya tumbuhan berpembuluh. Flavonoid
sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu,
kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah buni dan biji. Kira-kira 2% dari
seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuh-tumbuhan diubah menjadi
flavonoid. Flavonoid merupakan turunan fenol yang memiliki struktur dasar
fenilbenzopiron (tokoferol), dicirikan oleh kerangka 15 karbon (C6-C3-C6) yang
terdiri dari satu cincin teroksigenasi dan dua cincin aromatis. Substitusi
gugus kimia pada flavonoid umumnya berupa hidroksilasi, metoksilasi, metilasi
dan glikosilasi.
Klasifikasi flavonoid sangat
beragam, di antaranya ada yang mengklasifikasikan flavonoid menjadi flavon,
flavonon, isoflavon, flavanol, flavanon, antosianin, dan kalkon. Lebih dari
6467 senyawa flavonoid telah diidentifikasi dan jumlahnya terus meningkat.
Kebanyakan flavonoid berbentuk monomer, tetapi terdapat pula bentuk dimer
(biflavonoid), trimer, tetramer, dan polimer. Istilah flavonoid diberikan untuk
senyawa-senyawa fenol yang berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu
flavonoida yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan.
Masing-masing jenis senyawa
flavonoida mempunyai struktur dasar tertentu. Flavonoida mempunyai pola
oksigenasi yang berselang-seling yaitu posisi 2,4,6. cincin B flavonoid
mempunyai satu gugus fungsi oksigen pada posisi para atau dua pada posisi para
dan meta atau tiga pada posisi satu di para dan dua di meta. Cincin A selalu
mempunyai gugus hidroksil yang letaknya sedemikian rupa sehingga memberikan
kemungkinan untuk terbentuk cincin heterosikllis dalam senyawa trisiklis.
Beberapa senyawa flavonoida adalah sebagai berikut :
Cincin A – COCH2CH2 – Cincin B
—————————– Hidrokalkon
Cincin A – COCH2CHOH – Cincin B ————————–
Flavanon, kalkon
Cincin A – COCH2CO – Cincin B
—————————— Flavon
Cincin A – CH2COCO – Cincin B
—————————— Antosianin
Cincin A – COCOCH2 – Cincin B
——————————- Auron
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri
dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propane dari
system 1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang
banyak ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama.
Banyaknya senyawa flavonoida ini disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,
alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut. Senyawa-senyawa
isoflavonoida dan neoflavonoida hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan,
terutama suku leguminosae. Masing-masing jenis senyawa flavonoida mempunyai
struktur dasar tertentu. Flavonoida mempunyai beberapa cirri struktur yaitu:
cincin A dari struktur flavonoida mempunyai pola oksigenasi yang
berselang-seling yaitu pada posisi 2,4 dan 6. Cincin B flavonoida mempunyai
satu gugus fungsi oksigen pada posisi para atau dua pada posisi para dan meta
aau tiga pada posisi satu di para dan dua di meta. Cincin A selalu mempunyai
gugus hidroksil yang letaknya sedemikian rupa sehingga memberikan kemungkinan
untuk terbentuk cincin heterosiklik dalam senyawa trisiklis. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua
cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantaipropana (C3) sehingga membentuk
suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur
senyawa flavonoida, yaitu:
1. Flavonoida
atau 1,3-diarilpropana
Beberapa senyawa flavonoida yang ditemukan di alam adalah
sebagai berikut
a) Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan
paling tersebar luas dalam tumbuhan. Secara kimia antosianin merupakan turunan
suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari
pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau
dengan metilasi. Antosianin tidak mantap dalam larutan netral atau basa. Karena
itu antosianin harus diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut yang mengandung
asam asetat atau asam hidroklorida (misalnya metanol yang mengandung HCl pekat
1%) dan larutannya harus disimpan di tempat gelap serta sebaiknya didinginkan.
Antosianidin ialah aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin
dihidrolisis dengan asam. Antosianidin terdapat enam jenis secara umum, yaitu :
sianidin, pelargonidin, peonidin, petunidin, malvidin dan delfinidin.
Antosianidin adalah senyawa flavonoid secara struktur
termasuk kelompok flavon. Glikosida antosianidin dikenal sebagai antosianin.
Nama ini berasal dari bahasa Yunani antho-, bunga dan kyanos-, biru. Senyawa
ini tergolong pigmen dan pembentuk warna pada tanaman yang ditentukan oleh pH
dari lingkungannya. Senyawa paling umum adalah antosianidin, sianidin yang
terjadi dalam sekitar 80 persen dari pigmen daun tumbuhan, 69 persen dari
buah-buahan dan 50 persen dari bunga. Kebanyakan warna bunga merah dan biru
disebabkan antosianin. Bagian bukan gula dari glukosida itu disebut suatu antosianidin
dan merupakan suatu tipe garam flavilium. Warna tertentu yang diberikan oleh
suatu antosianin, sebagian bergantung pada pH bunga. Warna biru bunga
cornflower dan warna merah bunga mawar disebabkan oleh antosianin yang sama,
yakni sianin. Dalam sekuntum mawar merah, sianin berada dalam bentuk fenol.
Dalam cornflower biru, sianin berada dalam bentuk anionnya, dengan hilangnya
sebuah proton dari salah satu gugus fenolnya. Dalam hal ini, sianin serupa
dengan indikator asam-basa. Istilah garam flavilium berasal dari nama untuk
flavon, yang merupakan senyawa tidak berwarna. Adisi gugus hidroksil
menghasilkan flavonol, yang berwarna kuning.
Dalam pengidentifikasian antosianin
atau flavonoid yang kepolarannya rendah, daun segar atau daun bunga jangan dikeringkan
tetapi harus digerus dengan MeOH. Ekstraksi hampir segera terjadi seperti
terbukti dari warna larutan. Flavonoid yang kepolarannya rendah dan yang
kadang-kadang terdapat pada bagian luar tumbuhan, paling baik diisolasi hanya
dengan merendam bahan tumbuhan segar dalam heksana atau eter selama beberapa
menit.
Antosianin secara umum mempunyai
stabilitas yang rendah. Pada pemanasan yang tinggi, kestabilan dan ketahanan
zat warna antosianin akan berubah dan mengakibatkan kerusakan. Selain
mempengaruhi warna antosianin, pH juga mempengaruhi stabilitasnya, dimana dalam
suasana asam akan berwarna merah dan suasana basa berwarna biru. Antosianin
lebih stabil dalam suasana asam daripada dalam suasana alkalis ataupun netral.
Zat warna ini juga tidak stabil dengan adanya oksigen dan asam askorbat. Asam
askorbat kadang melindungi antosianin tetapi ketika antosianin menyerap
oksigen, asam askorbat akan menghalangi terjadinya oksidasi. Pada kasus lain,
jika enzim menyerang asam askorbat yang akan menghasilkan hydrogen peroksida
yang mengoksidasi sehingga antosianin mengalami perubahan warna. Warna pigmen
antosianin merah, biru, violet, dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan
dan sayur-sayuran.
Dalam tanaman terdapat dalam bentuk
glikosida yaitu membentuk ester dengan monosakarida (glukosa, galaktosa,
ramnosa dan kadang-kadang pentosa). Sewaktu pemanasan dalam asam mineral pekat,
antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula. Pada pH rendah (asam) pigmen
ini berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian
menjadi biru. Pada umumnya, zat-zat warna distabilkan dengan penambahan larutan
buffer yang sesuai. Jika zat warna tersebut memiliki pH sekitar 4 maka perlu
ditambahkan larutan buffer asetat, demikian pula zat warna yang memiliki pH
yang berbeda maka harus dilakukan penyesuaian larutan buffer. Warna merah bunga
mawar dan biru pada bunga jagung terdiri dari pigmen yang sama yaitu sianin.
Perbedaannya adalah bila pada bunga mawar pigmennya berupa garam asam sedangkan
pada bunga jagung berupa garam netral. Konsentrasi pigmen juga sangat berperan
dalam menentukan warna.
Pada konsentrasi yang encer
antosianin berwarna biru, sebaliknya pada konsentrasi pekat berwarna merah dan
konsentrasi biasa berwarna ungu. Adanya tanin akan banyak mengubah warna
antosianin. Dalam pengolahan sayur-sayuran adanya antosianin dan keasaman
larutan banyak menentukan warna produk tersebut. Misalnya pada pemasakan bit
atau kubis merah. Bila air pemasaknya mempunyai pH 8 atau lebih (dengan
penambahan soda) maka warna menjadi kelabu violet tetapi bila ditambahkan cuka
warna akan mejadi merah terang kembali. Tetapi jarang makanan mempunyai pH yang
sangat tinggi. Dengan ion logam, antosianin membentuk senyawa kompleks yang
berwarna abu-abu violet. Karena itu pada pengalengan bahan yang mengandung
antosianin, kalengnya perlu mendapat lapisan khusus (lacquer).
b) Flavonol
Flavonol lazim sebagai konstituen
tanaman yang tinggi, dan terdapat dalam berbagai bentuk terhidroksilasi.
Flavonol alami yang paling sederhana adalah galangin, 3,5,7
–tri-hidroksiflavon; sedangkan yang paling rumit, hibissetin adalah
3,5,7,8,3’,4’,5’ heptahidroksiflavon. Bentuk khusus hidroksilasi
(C6(A)-C3-C6(B), dalam mana C6 (A) adalah turunan phloroglusional, dan cincin B
adalah 4-atau 3,4-dihidroksi, diperoleh dalam 2 flavonol yang paling lazim
yaitu kaempferol dan quirsetin. Hidroksiflavonol, seperti halnya hidroksi
flavon, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida. Flavonol kebanyakan
terdapat sebagai 3-glikosida. Meskipun flavon, flavonol, dan flavanon pada
umumnya terdistribusi melalui tanaman tinggi tetapi tidak terdapat hubungan
khemotakson yang jelas. Genus Melicope mengandung melisimpleksin dan ternatin,
dan genus citrus mengandung nobiletin, tangeretin dan 3’,4’,5,6,7-pentametoksiflavon.
c) Khalkon
Polihidroksi khalkon terdapat dalam
sejumlah tanaman, namun terdistribusinya di alam tidak lazim. Alasan pokok
bahwa khalkon cepat mengalami isomerasi menjadi flavanon dalam satuan
keseimbangan. Bila khalkon 2,6-dihidroksilasi, isomer flavanon mngikat 5 gugus
hidroksil, dan stabilisasi mempengaruhi ikatan hydrogen 4-karbonil-5-hidroksil
maka menyebabkan keseimbangan khalkon-flavon condong ke arah flavanon. Hingga
khalkon yang terdapat di alam memiliki gugus 2,4-hidroksil atau gugus 2-hidroksil-6-glikosilasi.
Beberapa khalkon misalnya merein,
koreopsin, stillopsin, lanseolin yang terdapat dalam tanaman, terutama sebagai
pigmen daun bunga berwarna kuning, kebanyakan terdapat dalam tanaman
Heliantheaetribe, Coreopsidinae subtribe, dan family Compositea.
d) Auron (Cincin A –COCO CH2 – Cincin B)
Auron atau system cincin
benzalkumaranon dinomori sebagai berikut :
1) Dihidrokhalkon.
Meskipun dihidrokhalkon jarang
terdapat di alam, namun satu senyawa yang penting yaitu phlorizin merupakan
konstituen umum family Rosaceae juga terdapat dalam jenis buah-buahan seperti
apel dan pear. Phlorizin telah lama dikenal dalam bidang farmasi, ia memiliki
kesanggupan menghasilkan kondisi seperti diabetes. Phlorizin merupakan
β-D-glukosida phloretin. Phloretin mudah terurai oleh alkali kuat menjadi
phloroglusional dan asam p-hidroksihidrosinamat. Jika glukosida phlorizin
dipecah dengan alkali dengan cara yang sama, maka ternyata sisa glukosa tidak
dapat terlepas dan dihasilkan phloroglusinol β-O-glukosida.
e)
Flavon
Flavon mudah dipecah oleh alkali
menghasilkan diasil metan atau tergantung pada kondisi reaksi, asam benzoate
yang diturunkan dari cincin A. flavon stabil terhadap asam kuat dan eternya
mudah didealkilasi dengan penambahan HI atau HBr, atau dengan aluminium klorida
dalam pelarut inert. Namun demikian, selama demetilasi tata ulang sering
teramati; oleh pengaruh asam kuat dapat menyebabkan pembukaan cincin pada cara
yang lain. Sebagai contoh demetilasi 5,8-dimetoksiflavon dengan HBr dalam asam
asetat menghasilkan 5,6 dihidroksiflavon . Dalam keadaan khusus pembukaan
lanjut dapat terjadi.
Demetilasi gugus 5-metoksi dalam
polimetoksiflavon segera terjadi pada kondisi yang cocok, sehingga
5-hidroksi-polimetoksiflavon mudah dibuat.
f)
Isoflavonoida atau 1,2-diarilpropana.
Isoflavon terdiri atas struktur
dasar C6-C3-C6, secara alami disintesa oleh tumbuh-tumbuhan dan senyawa asam
amino aromatik fenilalanin atau tirosin. Biosintesa tersebut berlangsung secara
bertahap dan melalui sederetan senyawa antara yaitu asam sinnamat, asam
kumarat, calkon, flavon dan isoflavon. Berdasarkan biosintesa tersebut maka
isoflvon digolongkan sebagai senyawa metabolit sekunder. Isoflavon termasuk
dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang
terbesar dalam kelompok tersebut. Meskipun isoflavon merupakan salah satu
metabolit sekunder, tetapi ternyata pada mikroba seperti bakteri, algae, jamur
dan lumut tidak mengandung isoflavon, karena mikroba tersebut tidak mempunyai
kemampuan untuk mensintesanya. Jenis senyawa isoflavon di alam sangat
bevariasi. Diantaranya telah berhasil diidentifikasi struktur kimianya dan
diketahui fungsi fisiologisnya, misalnya isoflavon, rotenoid dan kumestan,
serta telah dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan.
g) Neoflavonoida atau 1,1-diarilpropana
Neoflavonoid meliputi jenis-jenis
4-arilkumarin dan berbagai dalbergoin. Penggolongan Flavonoid Berdasarkan Jenis
Ikatan :
a. Flavonoid
O-Glikosida
Pada senyawa ini gugus hidroksil flavonoid terikat
pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal yang tidak tahan asam,
pengaruh glikosida ini nenyebabkan flavonoid kurang reaktif dan lebih mudah
larut dalam air. Gula yang paling umum terlibat adalah glukosa disamping
galaktosa, ramilosa, silosa, arabinosa, fruktosa dan kadang-kadang glukoronat
dan galakturonat. Disakarida juga dapat terikat pada flavonoid misalnya
soforosa, gentibiosa, rutinosa dan lain-lain.
b. Flavonoid
C-Glikosida
Gugus gula terikat langsung pada inti benzen dengan
suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Lazim di temukan gula terikat pada
atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat lebih
sedikit dibandingkan dengan O-glikosida. Gula paling umum adalah galaktosa,
raminosa, silosa, arabinosa.
c. Flavonoid
Sulfat
Senyawa flavonoid yang mengandung satu ion sulfat atau
lebih yang terikat pada OH fenol atau gula, Secara teknis termasuk bisulfate
karena terdapat sebagai garam yaitu flavon O-SO3K. Banyak berupa glikosida
bisulfat yang terikat pada OH fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada guIa.
Umumnya hanya terdapat pada Angiospermae yang mempunyai ekologi dengan habitat
air.
d.Biflavonoid
Senyawa ini mula-mula ditemukan oleh Furukawa dari
ekstrak daun G. biloba berupa senyawa berwarna kuning yang dinamai ginkgetin
(I-4’, I-7-dimetoksi, II-4’, I-5, II-5, II-7-tetrahidroksi [I-3’, II-8]
biflavon). Biflavonoid (atau biflavonil, flavandiol) merupakan dimer flavonoid
yang dibentuk dari dua unit flavon atau dimer campuran antara flavon dengan
flavanon dan atau auron. Struktur dasar biflavonoid adalah
2,3-dihidroapigeninil-(I- 3′,II-3′)-apigenin. Senyawa ini memiliki ikatan
interflavanil C-C antara karbon C-3′ pada masing-masing flavon. Beberapa
biflavonoid dengan ikatan interflavanil C- O-C juga ada. Biflavonoid terdapat
pada buah, sayuran, dan bagian tumbuhan lainnya.. Hingga kini jumlah
biflavonoid yang diisolasi dan dikarakterisasi dari alam terus bertambah, namun
yang diketahui bioaktivitasnya masih terbatas. Biflavonoid yang paling banyak
diteliti adalah ginkgetin, isoginkgetin, amentoflavon, morelloflavon,
robustaflavon, hinokiflavon, dan ochnaflavon. Senyawa- senyawa ini memiliki
struktur dasar yang serupa yaitu 5,7,4’-trihidroksi flavanoid, tetapi berbeda
pada sifat dan letak ikatan antar flavanoid
Sistem
cincin bisiklis dinamai cincin A dan C, sedangkan cincin unisiklis dinamai
cincin B. Kedua unit monomer biflavonoid ditandai dengan angka Romawi I dan II.
Posisi angka pada masing-masing monomer dimulai dari cincin yang mengandung
atom oksigen, posisi ke-9 dan ke-10 menunjukkan karbon pada titik penyatuan
Senyawa biflavonóid berperan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, anti kanker,
anti alergi, antimikrobia, antifungi, antibakteri, antivirus, pelindung
terhadap iradiasi UV, vasorelaksan, penguat jantung, anti hipertensi, anti
pembekuan darah, dan mempengaruhi metabolisme enzim. Sebagian besar peran di
atas dapat dipenuhi oleh berbagai senyawa biflavonoid yang diekstraksi dari
berbagai spesies Selaginella.
Seperti yang
telah dikemukakan di atas biflavonoid merupakan flavonoid dimer yang biasanya
terlibat adalah flavon dan flavonon yang secara biosintesis mempunyai pola
oksigenasi yang sederhana, 5, 7, 4' dan ikatan antar flavonoid berupa C-C atau
eter. Biflavonoid jarang ditemukan sebagai glikosida dan penyebarannya terbatas
umumnya pada paku-pakuan, Gimnospermae, Angiospermae. Salah satu struktur
flavonoid yang bernilai tinggi sebagai bahan obat adalah biflavonoid. Di Asia
Timur biflavonoid banyak dihasilkan dari daun Ginkgo biloba L. dengan kandungan
utama ginkgetin Di Afrika sub Sahara biflavonoid banyak dihasilkan dari biji
Garcinia cola Heckel dengan kandungan utama kolaviron. Di Eropa biflavonoid
banyak dihasilkan dari herba Hypericum perforatum L. dengan kandungan utama
amentoflavon. Selaginella Pal. Beauv. (Selaginellaceae Reichb.) sangat
berpotensi sebagai sumber biflavonoid. Tumbuhan ini dapat menghasilkan berbagai
jenis biflavonoid, tergantung spesiesnya, serta memiliki sebaran yang bersifat
kosmopolitan sehingga dapat dibudidayakan hampir di seluruh permukaan bumi.
D. Sifat Flavonoid
1. Sifat Fisika dan Kimia
Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa
polifenol sehingga bersifat kimia senyawa fenol yaitu agak asam dan dapat larut
dalam basa, dan karena merupakan senyawa polihidroksi (gugus hidroksil) maka
juga bersifat polar sehingga dapat larut dalan pelarut polar seperti metanol,
etanol, aseton, air, butanol, dimetil sulfoksida, dimetil formamida. Disamping
itu dengan adanya gugus glikosida yang terikat pada gugus flavonoid sehingga
cenderung menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagai zat berwarna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa
flavonoid termasuk salah satu kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol
dan mengandung antioksidan.
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Karena
mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula,
flavonoid merupakan senyawa polar dan seperti kata pepatah lama suatu golongan
akan melarutkan golongannya sendiri, maka umumnya flavonoid larut cukupan dalam
11 pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton,
dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air, dan lain-lain.
Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon
serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut
seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).
Flavonoid juga memiliki beberapa
sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi, dan antivirus
(Stavric dan Matula, 1992). Sifat antiradikal flavonoid terutama terhadap
radikal hidroksil, anionsuperoksida, radikal peroksil, dan alkoksil (Huguet, et
al., 1990; Sichel,et al.,1991). Senyawa flavonoid ini memiliki afinitas yang
sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui
dapat mengkatalisis beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya
radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui
potensinya sebagai pengkelat Fe (Afanas‟av,et al., 1989 ; Morel,et
al.,1993).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat
diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak
inidikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena
ituwarnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah
dideteksipada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987 : 70).
Sifat-sifat kimia dari senyawa fenol adalah sama, akan tetapi dari segi
biogenetic senyawa senyawa ini dapat dibedakan atas dua jenis utama, yaitu:
1.
Senyawa fenol yang berasal dari asam shikimat atau jalur shikimat.
2.
Senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat-malonat.
Ada juga senyawa-senyawa fenol yang
berasal dari kombinasi antara kedua jalur biosintesa ini yaitu senyawa-senyawa
flanonoida. Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavonoida yang
memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di
alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga, antodianin memberikan warna
merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali
warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan
penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit
sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu.
2. Sifat Kelarutan Flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga
dapat larut dalam basa, tetapi bila dibiarkan dalam larutan basa dan di
samping itu terdapat oksigen, banyak yang akan terurai. Karena mempunyai
sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih,atau suatu gula, flavonoid merupakan
senyawa polar, maka umumnya flavonoidcukup larut dalam pelarut polar seperti
etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil-sulfoksida, dimetilformamida, air,
dan lain-lain (Markham, 1988 : 15).Adanya gula yang terikat pada flavonoid
(bentuk umum yang ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut
dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan
pelarut yang baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar
seperti isoflavon, flavanon, danflavon serta flavonol yang termetoksilasi
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham,
1988 : 15). Kelarutan flavonoid antara lain :
1. Flavonoid
polimetil atau polimetoksi larut dalam heksan, petroleum eter (PE), kloroform, eter,
etil asetat, dan etanol. Contoh: sinersetin (nonpolar).
2. Aglikon
flavonoid polihidroksi tidak larut dalam heksan, PE dan kloroform; larut dalam
eter, etil asetat dan etanol; dan sedikit larut dalam air. Contoh: kuersetin
(semipolar).
3. Glikosida
flavonoid tidak larut dalam heksan, PE, kloroform, eter; sedikit larut dalam
etil asetat dan etanol; serta sangat larut dalam air. Contoh: rutin.
3. Kestabilan Flavonoid
Secara fisis, flavonoid bersifat stabil. Namun, secara kimiawi ada 2 jenis
flavonoid yang kurang stabil, yaitu:
1.
Flavonoid O-glikosida; dimana glikon dan aglikon
dihubungkan oleh ikatan eter (R-O-R). Flavonoid jenis ini mudah
terhidrolisis.
2.
Flavonoid C-glikosida; dimana glikon dan aglikon
dihubungkan oleh ikatan C-C. Flavonoid jenis ini sukar terhidrolisis, tapi
mudah berubah menjadi isomernya. Misalnya viteksin, dimana gulanya mudah
berpindah ke posisi 8. Perlu diketahui, kebanyakan gula terikat pada posisi 5
dan 8, jarang terikat pada cincin B atau C karena kedua cincin tersebut berasal
dari jalur sintesis tersendiri, yaitu jalur sinamat.
E. Sumber
Flavonid
Flavonoid tersebar luas pada tumbuhan tapi jarang terdapat pada bakteri,
jamur dan lumut. Dalam dunia tumbuhan, flavonoid tersebar luas dalam suku
Rutaceae, Papilionaceae (kacang-kacangan), Labiatae (Ortosiphon), Compositae
(contoh: Sonchus arvensis), Anacardiaceae, Apiaceae/Umbeliferae
(seledri, pegagan, wortel), dan Euphorbiaceae (contoh: daun singkong). Pada
tingkat organ, flavonoid tersebar pada seluruh bagian tanaman seperti biji,
bunga, daun, dan batang. Pada tingkat jaringan, flavonoid banyak terdapat pada
jaringan palisade. Pada tingkat seluler, flavonoid bisa terdapat pada dinding
sel, kloroplas, atau terlarut dalam sitoplasma. Pada paku-pakuan, flavonoidnya
berupa flavonoid polimetoksi sehingga hanya terdapat pada dinding sel dan tidak
terdapat pada sitoplasma karena sitoplasma mengandung banyak air sehingga
bersifat polar dan tidak dapat melarutkan flavonoid polimetoksi.
Flavonoid sebenarnya terdapat pada
semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepungsari, nektar,
bunga, buah dan biji. Hanya sedikit catatan yang melaporkan flavonoid pada
hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang, propilis (sekresi lebah),
sayap kupu-kupu, yang mana dianggap bukan hasil biosintesis melainkan dari
tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut, Senyawa antosianin sering
dihubungkan dengan warna bunga tumbuhan. Sianidin umumnya terdapat pada suku
Gramineae. Senyawa biflavonoid banyak terdapat pada subdivisi Gymnospernae
sedang isoflavonoid pada suku leguminosae. Pada tumbuhan yang mempunyai
morfologi sederhana seperti lumut, paku, dan paku ekor kuda mengandung senyawa
flavonoid O-GIikosida, flavonol, flavonon, Khalkon, dihidrokhalkon, C-Gl
ikosida . Angiospermae mengandung senyawa flavonoid kompleks yang lebih banyak.
Flavonoid adalah pigmen tumbuhan yang paling penting
untuk warna bunga yang memproduksi pigmentasi kuning atau merah/biru di kelopak
yang dirancang untuk menarik pollinator hewan. Flavonoid dikeluarkan oleh akar
tanaman bantuan host mereka ” Rhizobia” dalam tahap infeksi mereka hubungan
simbiotik dengan kacang-kacangan seperti kacang polong, kacang, Semanggi, dan
kedelai. Rhizobia yang tinggal di tanah dapat merasakan flavonoid dan ini
memicu sekresi mengangguk faktor, yang pada gilirannya diakui oleh tanaman dan
dapat menyebabkan akar rambut deformasi dan beberapa tanggapan selular seperti
ion fluks dan pembentukan nodul akar. Mereka juga melindungi tanaman dari
serangan dengan mikroba, jamur dan serangga.
Flavonoid (khusus flavonoids seperti catechin) adalah
“kelompok yang paling umum polyphenolic senyawa dalam makanan manusia dan
ubiquitously ditemukan pada tanaman”. Flavonols, bioflavonoids asli seperti
quercetin, yang juga ditemukan ubiquitously, tetapi dalam jumlah yang lebih
rendah. Kedua set senyawa memiliki bukti modulasi kesehatan efek pada hewan
yang makan mereka.
Flavonoid (flavonols danflav nols) umumnya dikenal dengan aktivitas
antioksidan in vitro. Konsumen dan produsen makanan menjadi tertarik pada
flavonoid untuk sifat obat mungkin, terutama peran mereka diduga dalam
pencegahan kanker dan penyakit kardiovaskular. Meskipun bukti fisiologis tidak
belum didirikan, efek menguntungkan dari buah-buahan, sayuran, dan teh atau
bahkan merah anggur kadang-kadang telah dituduhkan flavonoid senyawa daripada
mikronutrien dikenal, seperti vitamin dan mineral.
G. Manfaat
dan Kegunaan Flavonoid
Flavonoid merupakan sejenis senyawa
fenol terbesar yang ada, senyawa ini terdiri dari lebih dari 15 atom karbon
yang sebagian besar bisa ditemukan dalam kandungan tumbuhan.Flavonoid juga
dikenal sebagai vitamin P dan citrin, dan merupakan pigmen yang diproduksi oleh
sejumlah tanaman sebagai warna pada bunga yang dihasilkan.Bagian tanaman yang
bertugas untuk memproduksi flavonoid adalah bagian akar yang dibantu oleh rhizobia,
bakteri tanah yang bertugas untuk menjaga dan memperbaiki kandungan nitrogen
dalam tanah.
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid
terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga
flavonoid berperan jelas dalam menarik burung
dan serangga penyerbuk bunga. Beberapa flavonoid tak berwarna, tetapi flavonoid
yang menyerap sinar UV barangkali penting juga dalam mengarahkan serangga.
Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan yang mengandungnya
adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus,
dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).
dan serangga penyerbuk bunga. Beberapa flavonoid tak berwarna, tetapi flavonoid
yang menyerap sinar UV barangkali penting juga dalam mengarahkan serangga.
Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan yang mengandungnya
adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus,
dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).
Tidak ada benda yang begitu menyolok
seperti flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada
bunga dan buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga,
antodianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang
terdapat pada pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan
peranan penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah
flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat
tertentu.
Senyawa flavonoid adalah suatu
kelompok fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan dengan
warna kuning, kuning jeruk, dan merah dapat ditemukan pada buah, sayuran,
kacang, biji, batang, bunga, herba, rempah-rempah, serta produk pangan dan obat
dari tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan obat
herbal.
Senyawa ini berperan penting dalam
menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya
hanya menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada
tingkat spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi
sepanjang sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam
pertahanan diri terhadap hama, penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan
mikrobia, dormansi biji, pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal
pada berbagai jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan
fertilitas jantan. Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh
seorang Amerika bernama Gyorgy (1936). Secara tidak sengaja Gyorgy memberikan
ekstrak vitamin C (asam askorbat) kepada seorang dokter untuk mengobati
penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata dapat disembuhkan.
Mc.Clure (1986) menemukan pula oleh bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak dari
Capsicum anunuum serta Citrus limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler
subkutan. Mekanisme aktivitas senyawa tersebut dapat dipandang sebagai fungsi
„alat komunikasi‟ (molecular messenger} dalam proses interaksi antar
sel, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau
mahluk hidup yang bersangkutan, baik bersifat negatif (menghambat) maupun
bersifat positif (menstimulasi).
A. Cara Isolasi dan Identifikasi Flavonoid
Secara Umum
1. Isolasi Dengan metanol
Terhadap bahan yang telah
dihaluskan, ekstraksi dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan metanol:air
(9:1) dilanjutkan dengan metanol:air (1:1) lalu dibiarkan 6-12 jam. Penyaringan
dengan corong buchner, lalu kedua ekstrak disatukan dan diuapkan hingga 1/3
volume mula-muIa, atau sampai semua metanol menguap dengan ekstraksi
menggunakan pelarut heksan atau kloroform (daIam corong pisah) dapat dibebaskan
dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpen, klorofil,
santifil dan lain-lain
2. Isolasi Dengan Charaux Paris
Serbuk tanaman diekstraksi dengan
metanol,lalu diuapkan sampai kental dan ekstrak kental ditambah air panas dalam
volume yang sama, Ekstrak air encer lalu ditambah eter, lakukan ekstraksi
kocok, pisahkan fase eter lalu uapkan sampai kering yang kemungkinan didapat
bentuk bebas. Fase air dari hasil pemisahan ditambah lagi pelarut etil. asetat
diuapkan sampai kering yang kemungkinan didapat Flavonoid O Glikosida. Fase air
ditambah lagi pelarut n - butanol, setelah dilakukan ekstraksi, lakukan
pemisahan dari kedua fase tersebut. Fase n-butanol diuapkan maka akan
didapatkan ekstrak n - butanol yang kering, mengandung flavonoid dalam bentuk
C-glikosida dan leukoantosianin. Dari ketiga fase yang didapat itu langsung
dilakukan pemisahan dari komponen yang ada dalam setiap fasenya dengan
mempergunakan kromatografi koLom. Metode ini sangat baik dipakai dalam
mengisolasi flavonoid dalam tanaman karena dapat dilakukan pemisahan flavonoid
berdasarkan sifat kepolarannya.
3. Isolasi dengan beberapa pelarut.
Serbuk kering diekstraksi dengan kloroform dan etanol,
kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan dibawah tekanan rendah. Ekstrak
etanol pekat dilarutkan dalam air lalu diekstraksi gojog dengan dietil eter dan
n-butanol, sehingga dengan demikian didapat tiga fraksi yaitu fraksi kloroform,
butanol dan dietil eter.
4. Identifikasi
Dengan Reaksi warna
a. Uji WILSTATER
Uji ini untuk mengetahui senyawa
yang mempunyai inti δ benzopiron. Warna-warna yang dihasilkan dengan reaksi Wilstater
adalah sebagai berikut:
- Jingga Daerah
untuk golongan flavon.
- Merah krimson
untuk golongan fLavonol.
- Merah tua untuk
golongan flavonon.
b. Uji
BATE SMITH MATECALVE
Reaksi warna ini digunakan untuk
menuniukkan adanya senyawa leukoantosianin, reaksi positif jika terjadi
warna merah yang intensif atau warna ungu.
5. Identifikasi flavonoid
Sebagian besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam
bentuk glikosidanya, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Glikosida
adalah kombinasi antara gula dan suatu alcohol yang saling berikatan melalui
ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan glikosida terbentuk apabila gugus
hidroksil dari alcohol beradisi kepada gugus karbonil dari gula, sama seperti
adisi alcohol kepada aldehid yang dikatalis oleh asam menghasilkan suatu
asetal.
Pada hidrolisis oleh asam, suatu glikosida terurai
kembali atas komponen-komponennya menghasilkan gula dan alcohol yang sebanding
dan alcohol yang dihasilkan ini disebut aglokin. Residu gula dari glikosida
flavonoid alam adalah glukosa tersebut masinbg-masing disebut glukosida,
ramnosida, galaktosida dan gentiobiosida. Flavonoida dapat ditemukan sebagai
mono-, di- atau triglikosida dimana satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam
molekul flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air dan sedikit
larut dalam pelarut organic seperti eter, benzene, kloroform dan aseton.
Flavonoid merupakan metabolit sekunder dalam tumbuhan
yang mempunyai variasi struktur yang beraneka ragam, namun saling berkaitan
karena alur biosintesis yang sama. Jalur biosintesis flavonoid dimulai dari
pertemuan alur asetat malonat dan alur sikimat membentuk khalkon, dari bentuk
khalkon ini diturunkan menjadi bentuk lanjut menjadi berbagai bentuk lewat alur
antar ubah posisi, dehidrogenasi, denetilasi dan lain-lain. Kenudian daripada
itu menghasilkan bentuk sekunder dihidrokalkon, flavon, auron, isoflavon
(penurunan selanjutnya membentuk peterokarpon dan rotenoid) dan dehidroflavonol
(penurunan selanjutnya antosianidin, flavonol, epikatekin ) .
Dari bentuk-bentuk sekunder tersebut akan terjadi
modifikasi lebih lanjut pada berbagai tahap dan menghasilkan penambahan /
pengurangan hidroksilasi, metilenasi, ortodihidroksil, metilasi gugus hidroksil
atau inti flavonoid, dimerisasi, pembentukan bisulfat, dan yang terpenting
glikolisasi gugus hidroksil
B. Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder
Prinsip dari pemisahan (isolasi) adalah adanya perbedaan sifat fisik dan
kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan
(kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan
molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penserapan)
(Harborne, 1987).
Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi cair
vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum.
Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang
dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi
adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketuk-ketuk dengan batang pengaduk
bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan
ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak.
Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong
G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring.
Elusi diawali dengan pelarut non polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut
dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali elusi
untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 gram
ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini, diameter corong dipilih
sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan
rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan
pompa vakum. Masing-masing ekstrak ditampung dalam wadah terpisah sehingga
menghasilkan sejumlah fraksi (Soediro, dkk.,1986).
Isolasi dan Identifikasi Flavonoid
1. Isolasi Flavonoid
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni dengan
cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang dapatmelarutkan
flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarutpolar, kecuali flavonoid
bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol termetoksilasi lebih
mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada proses ekstraksinya,
untuk tujuan skrining maupun isolasi, umumnya menggunakan pelarut methanol atau
etanol. Hal ini disebabkan karena pelarut ini bersifat melarutkan
senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar. Ekstrak
methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkankandungan senyawanya
dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanyaberdasarkan kenaikan polaritas pelarut
(Monache, 1996).
Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi,mempergunakan pelarut
methanol teknis. Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam air.
Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi dengan n-heksan dan etil asetat.
Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan, kemudian diuji flavonoid. Untuk
mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan dengan melarutkansejumlah
kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol.Selanjutnya ditambahkan
pereaksi flavonoid seperti : natriumhidroksida, asam sulfat pekat, bubuk
magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–asam klorida pekat. Uji
positif flavonoid ditandai dengan berbagai perubahan warna yang khas setiap
jenis flavonoid (Geissman, 1962).
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair,
kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi
dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi
kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling
baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama glikosida) mudah mengalami degradasi
enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk segar. Oleh karena itu disarankan
koleksi yang dikeringkan atau dibekukan. Ekstraksi menggunakan solven yang
sesuai dengan tipe flavonoid yg dikehendaki. Polaritas menjadi pertimbangan
utama. Flavonoid kurang polar (seperti isoflavones, flavanones, flavones
termetilasi, dan flavonol) terekstraksi dengan chloroform, dichloromethane,
diethyl ether, atau ethyl acetate, sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon
yang lebih polar terekstraksi dengan alcohols atau campuran alcohol air.
Glikosida meningkatkan kelarutan ke air dan alkohol-air. Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai
pereaksi, antara lain:
a.
Sitroborat
b.
AlCl3
c.
NH3
Sebelum melakukan suatu isolasi senyawa, maka yang
dilakukan adalah ekstraksi terlebih dahulu.
a. Ekstraksi
Ekstraksi artinya mengambil atau menarik suatu senyawa yang terdapat dalam
suatu bahan dengan pelarut yang sesuai. Proses yang terjadi dalam ekstraksi
adalah terlarutnya senyawa yang dapat larut dari sel melalui difusi, tergantung
dari letak senyawa dalam sel dan juga permeabilitas dinding sel dari bahan yang
akan di ekstraksi.
Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan dua atau lebih
komponendengan menambahkan suatu pelarut yang hanya dapat melarutkan salahsatu
komponennya saja. Dalam prosedur ekstraksi, larutan berair biasanya dikocok
dengan pelarutorganik yang tak dapat larut dalam sebuah corong pemisah. Zat –
zatyang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan lapisanorganik
sesuai dengan (perbedaan) kelarutannya. Padaekstraksi senyawa – senyawa organik
dari larutan berair, selain airatau eter, biasanya digunakan pula etil asetat,
benzena, kloroform dan sebagainya. Ekstraksi lebih efisien bila dilakukan
berulang kali dengan jumlah pelarut yanglebih kecil dari pada bila jumlah pelarutnya
banyak tapi ekstraknyahanya sekali (Markham, 1988).
Metode ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni ekstraksi panas dan ekstraksi
dingin. Ekstraksi panas menggunakan cara refluks dan destilasi uap sedangkan
ekstraksi secara dingin menggunakan cara maserasi,perkolasi dan soxhletasi.
1. Ekstraksi Secara Panas
a. Ekstraksi Secara Refluks.
Ekstraksi
secara refluks adalah cara berkesinambungan dimana cairan penyari secara
kontinyu menyari zat aktif dalam sampel.
b. Ekstraksi Secara Destilasi Uap
Ekstraksi secara destilasi uap adalah cara yang digunakan untuk menyaring
saampel yang mangandung minyak yang mudah menguap ataumengandung komponen kimia
yang mempunyai titik didih tinggi padatekanan udara normal. Destilasi merupakan metode ekstraksi
yang memanfaatkan perbedaan titik didih dari senyawa. Biasa digunakan untuk
mengisolasi minyak atsiri.
2. Ekstraksi Secara Dingin
a. Ekstraksi Secara Maserasi
Secara harfiah berarti merendam. Ekstraksi secara maserasi merupakan cara
penyarian yang paling sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk
sampel dalamcairan penyari. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana.
Tidak ada batas pelarut dalam metode ini. Jika menggunakan metode ini,
simplisia dibasahkan terlebih dahulu, jika tidak di khawatirkan akan ada
simplisia yang tidak teraliri pelarut. Proses maserasi sendiri dilakukan secara
berulang dengan memisahkan cairan perendam dengan cara penyaringan, dekantir
atau di peras, selanjutnya ditambahkan lagi penyari segar kedalam ampas hingga
warna rendaman sama dengan warna pelarut.
b. Ekstraksi Secara Perkolasi
Perkolasi
adalah suatu cara penarikan dengan memakai alat yang yang disebut perkolator,
dimana simplisia terendam dalam cairan penyari sehingga zat-zatnya terlarut dan
larutan tersebut akan menetes secara beraturan keluar sampai memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ekstraksi secara perkolasi merupakan cara
penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk
sampel yang telah dibasahi.
c. Ekstraksi Secara Soxhletasi
Merupakan
metode ekstraksi yang memanfaatkan pemanasan untuk destilasi pelurut sehingga
terjadi sirkulasi pelarut melalui serbuk simplisia. Metode ini efisiensi dalam
pemanfaatan pelarut tetapi berisiko pembentukan artefak akibat penggunaaan
panas. Ekstraksi secara soxhletasi merupakan cara penyarian sampel secara berkesinambungan,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi
menjadi molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari sampel di
dalam klonson dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa siphon.
b. Kromatografi
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan
tertentu. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu fasa
tetap (stationary) dan fasa gerak (mobile), pemisahan tergantung
pada gerakan relatif dari dua fasa tersebut. Kromatografi secara garis besar
dapat dibedakan menjadi kromatografi kolom dankromatografi planar. Kromatografi
kolom terdiri atas kromatografi gas dan kromatografi cair, sedangkan
kromatografi planar terdiri ataskromatografi lapis tipis dan kromatografi
kertas (Anwar, 1994).
Cara-cara kromatografi dapat
digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fasa tetap, yang dapat berupa zat
padat atau zat cair. Jika fasa tetap berupa zat padat maka cara tersebut
dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai
kromatografi partisi. Karena fasa bergerak dapat berupa zat cair atau gas maka
semua ada empat macam sistem kromatografi yaitu kromatografi serapan yang
terdiri dari kromatografi lapis tipis dan kromatografi penukar ion,
kromatografi padat, kromatografi partisi dan kromatografi gas-cair serta
kromatografi kolom kapiler .
Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya.
Seluruh bentuk kromatografi berkerja berdasarkan prinsip ini. Semua
kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi
cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir
melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran.
Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda (Harborne,
1987).
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan
senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar.
Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana
halnya pergerakan pelarut. Kecepatan senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas
pada lempengan, tergantung pada kelarutan senyawa dalam pelarut. Hal ini bergantung
pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut (Harborne,
1987).
Kemampuan senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung
pada besar atraksi antara senyawa dengan gel silika. Senyawa yang dapat
membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada gel silika lebih kuat dibanding
senyawa lainnya karena senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang
lainnya. Penjerapan merupakan pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada
permukaan (Harborne, 1987). Penyerapan bersifat tidak permanen, terdapat
pergerakan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan gel
silika dan yang kembali pada larutan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya
dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. Ketika
senyawa dijerap pada gel silika -untuk sementara waktu proses penjerapan
berhenti- dimana pelarut bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat
senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke atas lempengan
(Harborne, 1987). Dalam hal ini, senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen
akan menjerap lebih kuat daripada yang tergantung hanya pada interaksi van der
Waals, dan karenanya bergerak lebih jauh pada lempengan.
Jika komponen-komponen dalam campuran dapat membentuk ikatan-ikatan hydrogen,
terdapat perbedaan bahwa ikatan hidrogen pada tingkatan yang sama dan dapat
larut dalam pelarut pada tingkatan yang sama pula. Ini tidak hanya merupakan
atraksi antara senyawa dengan gel silika. Atraksi antara senyawa dan pelarut
juga merupakan hal yang penting dimana hal ini akan mempengaruhi mudahnya
proses senyawa ditarik pada larutan keluar dari permukaan silika. Ini
memungkinkan senyawa-senyawa tidak terpisahkan dengan baik ketika membuat
kromatogram. Dalam kasus itu, perubahan pelarut dapat membantu dengan baik,
termasuk memungkinkan perubahan pH pelarut. Ini merupakan tingkatan uji coba,
jika satu pelarut atau campuran pelarut tidak berkerja dengan baik, maka dapat
mencoba dengan pelarut lainnya (Harborne, 1987).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat
diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak
ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu
warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah
dideteksipada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987 : 70).
1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan yang menggunakan
plat atau lempeng kaca yang sudah dilapiskan adsorben yang bertindak
sebagaifasa diam. Fase bergerak ke atas sepanjang fase diam danterbentuklah
kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahandan sensitif (Khopkar,
1990). Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang
memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal),
kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan
pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
(Stahl, 1985).
Pada prinsipnya KLT dilakukan berdasarkan pada penggunaan fasa diam untuk
menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Fasa diam yang biasadigunakan dalam KLT
adalah serbuk silika gel, alumina, tanah diatomedan selulosa (Harborne, 1987).
Adapun carakerja dari KLT yakni larutan cuplikan sekitar 1% diteteskan denganpipet
mikro pada jarak 1-2 cm dari batas plat. Setelah eluen ataupelarut dari noda
cuplikan menguap, plat siap untuk dikembangkandengan fasa gerak (eluen) yang
sesuai hingga jarak eluen dari batasplat mencapai 10-15 cm. Mengeringkan sisa
eluen dalam plat dengandidiamkan pada suhu kamar. Noda pada plat dapat diamati
langsung dengan menggunakan lampu UV atau dengan menggunakan pereaksi semprot
penampak warna. Setelah noda dikembangkan dan divisualisasikan,identitas noda
dinyatakan dengan harga Rf (retardation factor)(Anwar, 1994).
Tujuan mendapatkan identitas noda dengan harga Rf untuk mencari pelarut
untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh darikromatografi
kolom, menyigi arah atau perkembangan reaksi seperti hidrolisis atau metilasi,
identifikasi flavonoid secarako-kromatografi dan isolasi flavonoid murni skala
kecil (Markham,1988).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai
metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai
untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam
kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Roy, et. all, 1991).
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini menurut Ibnu Gholib Gandjar
dan Abdul Rohman (2007) adalah :
•
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan
analisis.
•
Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan
pereaksi warna, fluorisensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
•
Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending),
menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
•
Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena
komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika
atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik
yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk
kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat
berpendarflour dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau
campuran pelarut yang sesuai (Harborne, 1987).
Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang
sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis,
kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik dalam waktu singkat
menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi
dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika
dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam
sulfat pekat yang bersifat korosif, kelemahannya adalah harga RF yang tidak
tetap (Gritten, et. al., 1991).
a) KLT Preparatif
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
merupakan proses isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya
partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak
mengikuti kepolaran eluen oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen
kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga
hal inilah yang menyebabkan pemisahan.
b) KLT
2 Dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi bertujuan
untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai
karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama
sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat
berbeda dapat digunakan secara berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan
pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda .
Sampel ditotolkan pada lempeng lalu
dikembangkan dengan satu sistem fase gerak sehingga campuran terpisah menurut
jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan dan
diputar 90° dan diletakkan dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak
kedua sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terletak dibagian
bawah sepanjang lempeng, lalu dikromatografi lagi .
Deteksi dengan KLT dapat dilakukan dengan cara:
1. Sinar tampak
2. Sinar UV
3. Pereaksi warna
2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan dan pemurnian senyawa
dalam skala preparative. Kromatografi kolom dapat dilakukan pada tekanan
atmosfer atau dengan tekanan lebih besar dengan menggunakan bantuan tekanan luar
(Khopkar, 1990). Kromatografi kolom prinsipnya mudah memilih ukuran,
kemasan (packing), dan isi kolom sesuai jenis serta jumlah cuplikan yang akan
dipisahkan. Kolom yang digunakan dan kromatografi ini dapat berupa gelas,
plastik atau nilom. Ukuran kolom yang lazim digunakan mempunyai diameter 2 cm
dan panjang 45 cm. Untuk memilih kemasan (Packing) yang akan digunakan dalam
kolom biasanya menggunakan selulosa, silika gel, alumina, arang(charcoal)
(Anwar, 1994).
Adapun cara kerja dari kromatografi kolom yakni langkah pertama mengemas kolom
(packing) dilakukan dengan hati-hati agar dihasilkan kolom kemas yang serba
sama. Selanjutnya kemasan kolom dijadikan bubur dalam gelas piala memakai
pelarut yang sama, lalu dituangkan hati-hati ke dalam kolom. Kemasan dibiarkan
turun dan pelarut yang berlebihan dikeluarkan melalui keran. Selanjutnya
langkah kedua menempatkan larutan cuplikan pada (bagian atas) kolom sehingga
terbentuk pita yang siap untuk dielusi lebih lanjut. Cuplikan harus dilarutkan
dalam pelarut yang volumenya sedikit. Pelarut yang dipakai harus sama dengan
pelarut untuk mengelusi (Markham, 1988).
3. High Pressure Liquid
Chromatography (HPLC)
High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia. KCKT termasuk
metode analisis terbaru yaitu suatu teknik kromatografi dengan fasa gerak
cairan dan fasa diam cairan atau padat. Banyak kelebihan metode ini jika
dibandingkan dengan metode lainnya (Done dkk, 1974; Snyder dan Kirkland, 1979;
Hamilton dan Sewell, 1982; Johnson dan Stevenson, 1978).
Informasi seperti kelarutan, gugus fungsi yang ada, besarnya berat molekul
(BM) dapat diperoleh dari pembuat informasi, pemberi sampel, atau data
spektroskopik seperti Nucleic Magnetic Resonance Spectrosphotometer (NMR),
Infrared spectrophotometer, ultra violet spectrumeter, dan mass
Spectrophotometer. Semua data-data ini dapat digunakan sebagai petunjuk bagi
analis memilih tipe HPLC yang tepat untuk digunakan (Johnson dan Stevenson,
1978)
Berdasarkan Hukum Dasar "like dissolves like" maka sangat mudah
untuk memutuskan tipe KCKT yang akan dipilih. Seleksi tipe KCKT, dengan cepat
kita dapat melihat bahwa Berat Molekul (BM) lebih besar dari 2000, maka kita
dapat menggunakan kromatografi eksklusi. Fasa geraknya adalah air jika
sampelnya larut dalam air; bila dapat larut dalam pelarut organik maka
digunakan pelarut- pelarut organik sebagai rasa gerak. Fasa diamnya adalah
Sephadex atau Bondagel Seri E untuk rasa gerak air dan Styragel atau MicroPak
TSK gel untuk rasa gerak organik. Bila BM lebih rendah dari 2000, pertama yang
harus ditentukan adalah apakah sampel dapat larut dalam air. Bila sampel dapat
larut dalam air, maka kromatografi partisi rasa terbalik atau kromatografi
penukar ion dapat digunakan. Bila kelarutan dipengaruhi oleh penambahan asam
atau basa atau bila pH larutan bervariasi lebih dari 2 (dua) satuan pH dari pH
7, maka kromatografi penukar ion adalah pilihan utama. Bila kelambatan tidak
dipengaruhi oleh asam dan basa dan larutan sampel adalah netral, maka kromatografi
partisi rasa terbalik adalah pilihan terbaik. Tipe Eksklusi menggunakan ukuran
poros yang kecil dan rasa air dapat juga dicoba.
Spektrum Flavonoid Umum
Spektroskopi serapan lembayung dan serapan sinar tampak digunakan
untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola
oksigenasi. Disamping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti
flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi (pereaksi geser) ke
dalam larutancuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi.
Cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada
salah satu gugushidroksil fenol (Markham, 1988 : 38).Spektrum flavonoid (gambar
2) biasanya ditentukan dalam larutan dengan
pelarut metanol atau etanol. Spektrum khas terdiri atas dua maksimal
pada rentang240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat
dan kekuatan nisbi maksimal tersebut memberikan informasi yang berharga
mengenai sifat flavonoid dan pola oksigenasinya.
Spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasi yang setara
(5,7,4‟) adalah
kekuatan nisbi yang rendah pada pita Idalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan
isoflavon. Ciri nisbi ini tidak berubah,bahkan bila pola oksigenasi berubah,
sekalipun rentang maksimal serapan pada jenis flavonoid (tabel 2) yang
berlainan tumpang tindih sebagai keseragaman polaoksigenasi. Keseragaman dalam
rentang maksimal ini akan bergantung pada polahidroksilasi dan pada derajat
substitusi gugus hidroksil (Markham, 1988 : 39).
Download lebih lengkap disini...!!
Download lebih lengkap disini...!!
Comments