MAKALAH
IMUNOLOGI
“HIPERSENSITIVITAS
AKIBAT OBAT ALOPURINOL”
NAMA
KELOMPOK :
1)
AHMAD FAUZI
2)
SISKA DESI ARIYANI
3)
SITI RODHOTUL JANNAH
4)
UMAR SYAHID
INSTITUT
ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2012/2013
Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas)
adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon
imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal)
yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas merupakan
reaksi imun tipe I, namun berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk
reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe lagi:
1. tipe
I
2. tipe
II
3. tipe
III dan
4. tipe
IV.
Penyakit
tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.
A. Hipersensitifitas tipe I
Disebut
juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.Reaksi ini berhubungan
dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal.Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit
setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan
awal hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin
E (IgE).Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau
basofil.Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan
intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan
kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas
pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE
juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing,
mieloma, dll.Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
B. Hipersensitivitas Tipe II
Pemfigus,
contoh hipersensitivitas tipe II pada anjing.
Hipersensitivitas
tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus
(IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
Anemia hemolitik autoimun (dipicu
obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah
merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan
dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
C. Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan
hipersensitivitas kompleks imun.Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks
antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan.Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri,
virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap
senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi
secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa
organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari
dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun
karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit
serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai
reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi
dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan
antibodi.Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.
D. Hipersensitivitas Tipe IV
Perbesaran biopsi paru-paru dari
penderita hipersensitivitas pneumonitis menggunakan mikrograf.
Hipersensitivitas tipe IV dikenal
sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type).Reaksi
ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu
cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak
dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala,
serta penampakan klinis dan histologis.Ketiga kategori tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tipe
|
Waktu reaksi
|
Penampakan klinis
|
Histologi
|
Antigen dan situs
|
Kontak
|
48-72 jam
|
Eksim (ekzema)
|
Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis
|
|
Tuberkulin
|
48-72 jam
|
Pengerasan (indurasi) lokal
|
Limfosit, monosit, makrofag
|
Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)
|
Granuloma
|
21-28 hari
|
Pengerasan
|
Makrofag, epitheloid dan sel raksaksa,
fibrosis
|
ALLOPURINOL
DESKRIPSI OBAT :
Alopurinol
adalah obat yang berguna untuk mengobati penyakit pirai karena menurunkan kadar
asam urat.
Sifat
fisiko kimia alopurinolberbentuk serbuk putih, agak berbau & sedikit larut
dalam air & alkohol. Sediaan larutan alopurinol hampir tidak berwarna
dengan pH : 11,1-11,8.
Nama dagang meliputi Alluric, Benoxuric,
Isoric, Licoric, Linogra, Nilapur, Ponuric, Pritanol, Puricemia, Reucid,
Rinolic, Sinoric, Tylonic, Urica, Uricnol, Zyloric.
Farmakologi Penghambat kerja enzim xantin
oksidase yang mengkatalisasi perubahan hipoxantin menjadi xantin &
perubahan xantin menjadi asam urat yang pada akhirnya menurunkan konsentrasi
asam urat dalam serum & urin.
Dosis untuk penyakit pirai ringan
200-400 mg sehari, 400-600 mg untuk penyakit yang lebih berat.Untuk pasien
gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100-200 mg sehari.Dosis untuk untuk
hiperurisemia sekunder 100-200 mg sehari. Untuk anak 6-10 tahun: 300 mg sehari
dan anak dibawah 6 tahun: 150 mg sehari.
Efek samping terhadap kulit &
efek lokal : Gatal, kemerahan, eksim, bentol, demam, selulit, bengkak,
berkeringat. Alergi : demam, menggigil, leukopenia, eosinopili, kemerahan,
gatal, mual & muntah, Stevens-Johnson syndrome, oligouria, CHF, tuli
permanen. Efek terhadap hati : Meningkatkan SGOT & SGPT, nekrosis,
kerusakan hati, hepatitis, hiperbilirubinemia, sakit kuning. Efek terhadap
Saluran cerna : Mual, muntah, diare, sakit abdomen, sembelit, kembung,
gastritis, dispepsi, pendarahan lambung & pankreas, bengkak kantung saliva,
lidah bengkak. Efek terhadap Sistem syaraf : nyeri pada ujung syaraf, sakit
kepala, epilepsi, agitasi, perubahan mental, koma, paralisi, pusing, limbung,
depresi, bingung,amnesia, sulit tidur. Efek lain : Demam, myopathy, epistaxis,
kerusakan ginjal, penurunan fungsi ginjal, meningkatkan kreatini, hematouria,
oligouria, UTI, asidosis, asidosis metabolit, hiperfosfatemia, hipomagnesemia,
hiponatremia, hipernatremia, hipokalemia, hiperkalemia, hiperkalsemia,
abnormalitis elektrolit. abnormalitis elektrolit. Tumor lisi sindrom sepsis,
infeksi lain, Kerusakan jantung, gangguan pernafasan.
Diagnosa
merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang akan dilakukan.
Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera
dilakukan sehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari
sindrom Stevens-Johnson dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan
karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan
atau bertahap.Diagnosa Sindrom Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa
penyakit.Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter gigi dengan
penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara
keseluruhan. Seorang dokter harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik
sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk
memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan diagnosis dari sindrom
Stevens-Johnson. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat
penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum maupun khusus,
riwayat keluarga,riwayat pemakaian obat baik topikal ataupun sistemik.
Pemeriksaan
klinis berupa gejala prodromal, trias kelainan kulit, mukosa,dan mata.Tanda-tanda
yang mungkin ditemukan selama pemeriksaan yaitu demam, ortostasis, takikardia,
hipotensi, penurunan kesadaran, epistaksis, konjungtivitis, ulkus kornea, vulvovaginitis
erosiva atau balanitis, kejang, koma.
Pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (tidak ada pemeriksaan laboratorium
selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ), pemeriksaan darah lengkap
pemeriksaan kulit (lokalisasi : Biasanya generalisata, kecuali pada kepala yang
bermbut) efloresensi/ sifat-sifatnya : Eritema berbentuk cincin (pinggir
eritema, tengah relatif hiperpigmentasi), yang berkembang menjadi urtikaria
atau lesi papular berbentuk target dengan pusat ungu, atau lesi sejenis dengan
vesikel kecil. Purpura (petekie), vesikel dan bula, numular sampai dengan
plakat. Erosi, Ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah hitam.
Perawatan
sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan
perawatan secara umum meliputi :
Rawat
Inap
Penderita sindrom Stevens-Johnson
yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau elektrolit
tubuh, perhatian khusus kepada airway, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri
dan kesadaran penderita yang menurun, serta keadaan umum yang buruk, maka rawat
inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat
memantau dan mengontrol setiap hari keadaan penderita.
Infus
Hal yang perlu diperhatikan pada
penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena
penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibatadanya lesi
oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun.Infus yang
diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah,
2002). Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis.Beberapa ahli
menyarankanpemberian kortikosteroid, antibiotik, hemodialisis dan
imunoglobulin.
Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mgsehari. Masa
kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi,
maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada
hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat
kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis
kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena
kortikosteroid mempunyai efek samping yang besar bagi penderita (Hamzah, 2002).
Pemberian Obat anabolik diberikan
untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan preparat kortikosteroid.Obat
anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis
25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung berat badan.
Penderita yang menggunakan
kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka
diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral (Mansjoer, dkk.,2000;Hamzah,2002;Perdoski,2003)
Pemberian antibiotik
Antibiotik yang dipilih hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan
tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya
siprofloksasin 2x400 mg i.v., dan klindamisin 2x600 mg i.v sehari Sebaiknya antibiotik
yang diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan
lesi kulit dan darah.
Adenocorticotropichormon
(ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengandosis 1 mg (Siregar, 1996)
Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan
pengobatan yang spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi
kulit diolesi dengan ointment berupa
vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit
dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur (Landow, 1983).
Lesi kulit yang erosive dapat
diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan
salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk
perawatan lesi pada kulit (Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2000)
Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan
kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata
dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air
mata sering kali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial
breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya
infeksi sekunder.Konsultasi dokter gigi dengan dokter spesialis mata sangat
direkomendasikan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kebutaan dapat
dihindarkan (Lagayan, 2005)
Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum
berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita. Penderita sindrom
Stevens-Johnson seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibaturetritis,
balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk
memperlancar buang air kecil (Landow,
1983; Lagayan, 2005)
Perawatan pada Rongga
Mulut
Rasa nyeri yang disebabkan lesi
oral dapat dihilangkan dengan pemberian anestetik topikal dalam bentuk larutan
atau salep yang mengandung lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara
mengoleskan secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton
swab. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi.
ARTIKEL LAINNYA
ARTIKEL LAINNYA
Comments